Penelitian Teks
Secara umum, penelitian teks apakah teks lisan, tulis maupun cetak untuk mencapai tujuannya (sebagaimana yang telah dibahas pada sub-bab yang lalu) hendaknya memperhatikan karakteristik teks masing-masing. Di samping itu, juga perlu memperhatikan 10 tesis yang diajukan Lichacev untuk setiap penelitian sebuah teks dalam filologi. Sepuluh tesis yang diajukan Lichacev adalah sebagai berikut.
1. Penelitian teks berusaha menyelidiki sejarah teks suatu karya. Salah satu penerapan praktis penelitian ini adalah suntingan teks.
Tesis pertama yang ditawarkan Lichacev pada setiap penelitian teks ialah agar peneliti selalu berusaha menyelidiki sejarah teks suatu karya dan salah satu penerapan praktisnya adalah suntingan teks. Menyunting sebuah teks berarti mempersiapkan teks agar layak untuk diterbitkan sehingga dapat dibaca oleh setiap orang serta dapat dipahami maknanya. Untuk memahami makna sebuah teks salah satu instrumen yang digunakan adalah konteks, yaitu segala sesuatu yang menyertai dan berada di sekitar teks yang secara struktural mempunyai kontribusi terhadap keberadaan teks. Konteks tersebut dapat diketahui melalui penelusuran sejarah teks atau penelusuran setiap perubahan atau transformasi teks ketika teks tersebut diturunkan atau disalin. Oleh karena itu, penelitian sejarah teks merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian praktis teks yang berupa suntingan teks.
2. Pertama-tama penelitian teks, baru kemudian penerbitannya.
Tesis kedua yang disarankan oleh Lichacev adalah mendahulukan penelitian teks, kemudian baru dilanjutkan ke penerbitannya. Tesis ini sebenarnya merupakan penegasan tesis pertama. Hanya saja secara prakmatis, meskipun penerbitan dapat dilakukan sebelum melakukan penelitian teks namun seandainya hal tersebut dilakukan maka besar kemungkinannya akan memunculkan beberapa permasalahan, antara lain : suntingan teks tidak sesuai dengan konteksnya, suntingan teks tidak bisa menunjukkan teks salinan yang diwakili, dan munculnya salah tafsir.
3. Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya
Tesis ketiga sebetulnya merupakan hasil dari tesis pertama dan kedua yang indikatornya harus muncul dalam sebuah penerbitan teks. Tesis pertama akan menghasilkan sejarah penurunan teks sedangkan tesis kedua, yaitu melanjutkan tesis pertama dengan cara menerbitkan teks maka dalam tesis ketiga ini memberikan rambu-rambu bahwa hasil temuan yang telah dilakukan pada penelitian sejarah teks harus menjadai pegangan dasar dalam menyunting sebuah teks. Dengan demikian, maka secara otomatis edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.
4. Penelitian teks harus disertai dengan penjelasan.
Pada tesis keempat Lichacev menegaskan bahwa tekstologi atau penelitian teks harus disertai dengan penjelasan. Menurutnya, penelitian teks yang tidak diberi penjelasan dari setiap simpulan yang ditemukan tidaklah dapat dikatakan sebagai penelitian teks. Misalnya, dari tiga naskah yang ditemukan (naskah A, B, dan C) setidaknya dapat ditelusuri hubungan kekerabatan ketiganya, yaitu naskah B merukan naskah yang lebih tua dan diturunkan menjadi naskah A, sedangkan naskah C adalah naskah yang berbeda versi dengan kedua naskah tersebut namun jika dilihat dari gaya bahasa dan retorikanya naskah C tersebut lebih tua dari keduanya. Di samping memberikan penjelasan berdasarkan prinsip-prinsip logika seperti di atas, setiap simpulan juga harus dijelaskan dengan memberikan data-data (kesaksian) temuan yang terdapat dalam setiap naskah sebuah teks. Demikian juga jika simpulan penelitian menunjukkan tidak jelasnya hubungan kekerabatan ketiganya, penjelasan berdasarkan logika maupun data-data yang diambil dari dalam teks.
5. Data-data (kesaksian) perubahan teks yang dilakukan secara sadar (secara ideologis, estetik, psikologik, dan sebagainya harus diberi prioritas atas data perubahan teks yang mekanis (kesalahan yang tidak disengaja oleh penyalin).
Pada tesis kelima Lichacev menyarankan bahwa penelitian terhadap perubahan teks yang secara sadar karena alasan ideologis, estetik, psikologis, dan sebagainya harus diprioritaskan daripada perubahan karena kesalahan mekanis (kesalahan tidak sengaja). Sebagaimana diketahui bahwa adanya perbedaan antara sebuah naskah yang satu dengan naskah yang lain dari teks yang sama adalah disebabkan oleh adanya kesalahan mekanis dan kesengajaan penyalin. Kesalahan-kesalahan yang menyangkut masalah ungkapan yang menyangkut konsep, seperti Ali radliyallahu 'anhu menjadi karamallahu wajhah menunjukkan adanya perubahan idelogi sunni menjadi idelogi syi'ah. Perubahan seperti inilah yang dimaksud sebagai perubahan yang disengaja dan harus diprioritaskan dalam penelitian teks. Karena menyangkut masalah ideologi maka penelusuran terhadap motif perubahan mempunyai makna terhadap penafsiran kebudayaan. Perubahan di atas berbeda dengan perubahan kata "tetapi" menjadi "tapi" atau saut du meme au meme penyalinan meloncat dari kata satu ke kata lain atau dari kalimat satu ke kalimat lain karena adanya perkataan yang sama. Perubahan yang terakhir ini secara fisik mudah ditemukan dan juga sudah dapat diduga faktor penyebabnya yang sebagian besar merupakan kelemahan manusia. Perubahan seperti ini tidak memiliki makna dalam kebudayaan. Meskipun demikian, secara tidak langsung dapat digunakan untuk menelusuri sejarah teks.
6. Teks perlu diteliti secara keseluruhan.
Tesis keenam Lichacev mengingatkan para filolog bahwa teks mempunyai karakteristik yang kompleks. Artinya, di samping di dalam teks berisi berbagai macam hasil kebudayan yang kompleks, di luar teks pun memuat data-data kesaksian yang tidak kalah kompleksnya dengan isi teks baik sebagai artefak, sistem tingkah laku, maupun nilai budaya.
7. Bahan penyerta teks (konvoi, kolofon, dan lain-lain) suatu karya sastra dalam satu kumpulan (kodeks) perlu diteliti.
Tesis ketujuh Lichacev menyarankan supaya bahan penyerta tekstologi (konvoi, kolofon, dan lain2) suatu karya sastra dalam kumpulan kodeks perlu diteliti. Sebagaimana diketahui bahwa bahan penyerta teks adalah salah satu data (kesaksian) yang dapat memberikan petunjuk tentang eksistensi teks. Petunjuk tersebut antara lain meliputi kapan naskah ditulis atau mulai disimpan atau dimiliki, di mana naskah tersebut ditulis atau disimpan, bahkan sering juga dijumpai catatan yang menjelaskan tanggapan pembaca atau pemilik naskah baik mengenai konsep-konsep yang dimuat di dalamnya maupun asal-usul naskah yang dimiliki. Hasil penelitian terhadap semua keterangan tersebut sangat membantu dalam memahami dan meneliti teks secara keseluruhan terutama untuk merekonstruksi teks yang diteliti.
8. Perlu diteliti bayangan sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain.
Pada tesis ke delapan Lichacev menerangkan perlunya peneltian terhadap bayangan sejarah teks sebuah karya sastra dalam monumen sastra lain. Dalam sastra Melayu sering dijumpai sebuah karya sastra atau bagian dari karya sastra disebutkan dalam karya sastra lain dengan tujuan untuk menguatkan cerita atau untuk mengaitkan cerita baru dengan cerita yang telah lebih dahulu ada.
9. Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan skriptoria masing-masing perlu diteliti.
Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan skriptoria masing-masing perlu diteliti. Pada tesis ini Lichacev mengingatkan bahwa jika masih bisa ditemukan para penyalin berikut dengan kegiatannya terutama yang berkaitan dengan teks yang sedang diteliti maka para penyalin berikut dengan kegiatnnya tersebut perlu diteliti. Di daerah Wonosobo, dijumpai para santri sebuah pesantren bertindak sebagai penyalin kitab-kitab karya kiainya. Naskah hasil penyalinan tersebut kemudian dijual kepada santri lain. Naskah hasil penyalinan tidak boleh difoto kopi atau diterbitkan dalam bentuk buku cetak.
10. Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan secara faktual.
Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan secara faktual. Tesis ini ditujukan kepada para filolog bahwa teks hasil rekonstruksi tidak bisa dijadikan sebagai naskah variabel dalam penelitian. Teks hasil rekonstruksi merupakan teks hibrid sehingga tidak bisa mewakili salah satu dari naskah sebuah teks.
Prinsip Pelacakan Penurunan Teks
Seorang filolog setelah berhasil menemukan berbagai macam naskah sebuah teks maka tugas selanjutnya ialah mengidentifikasi setiap naskah yang telah diperolehnya tersebut. Dalam pengidentifikasian, filolog harus mencatat setiap teks dengan mendeskripsikan fisiknya (ukurannya, bentuk tulisannya, warna tintanya, bahan naskahnya, dan kondisi fisisk naskahnya), asal-usulnya (misalnya, naskah diperoleh dari Perpustakaan Nasional), nomor katalognya (misalnya, ML 386, Codor 6789, dsb), kemudian setiap naskah diberi indentitas baru sebagai naskah sample / variabel A, B, C, dan seterusnya.
Tugas berikutnya yang harus dilakukan oleh filolog ialah menelusuri hubungan kekerabatan antar naskah variabel yang telah ditemukan. Penelusuran hubungan antar naskah tersebut berdasarkan penurunan teks yang secara teoretis dihipotesiskan sebagai stema, yaitu susunan silsilah naskah yang menjelaskan garis penurunan teks dari penurunan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Garis penurunan diasumsikan bahwa naskah asli atau otograf adalah naskah yang tidak bisa dilacak lagi atau hanya sebagai naskah hipotesis atau naskah yang keberadaannya masih diandaikan dan disebut juga sebagai arketip. Dari arketip ini kemudian diturunkan menjadi naskah hiparketip yang juga masih berupa naskah pengandaian. Untuk menandai naskah pengandaian ini biasanya digunakan nama-nama yang diambil dari abjad Yunani seperti alpha (α) , beta (β), gamma (γ), dan seterusnya. Dari hiparketip tersebut baru diasumsikan bahwa versi alpha didukung oleh naskah A, B, dan C; versi beta didukung oleh Naskah D dan E; sedangkan versi gama didukung oleh naskah F yang diturunkan menjadi naskah G dan H. Garis penurunan stema tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Untuk melacak penurunan teks sehingga menghasilkan stema atau susunan kekerabatan teks seperti pada teori di atas maka perlu dilakukan langkah2 sebagai berikut.
Pertama, untuk memperoleh perbedaan versi teks maka harus dilakukan pembandingan unsur2 intrinsik teks terhadap seluruh naskah yang ada (ditemukan). Versi ini dihipotesiskan sebagai hip arketip, sedangkan teks asli sebagai arketip. Dalam kasus seperti diagram di atas, Filolog telah menemukan 8 naskah dari sebuah teks dan kemudian diberi identitas sebagai naskah variabel A, B, C, D, E, F, G, dan H. Setelah dilakukan perbandingan unsur-unsur intrinsik teks (alur, latar, tokoh dan penokohan, serta tema) ternyata ada tiga kelompok naskah yang memiliki kesalahan yang sama. Kelompok pertama didukung oleh naskah A, B, dan C; kelompok kedua didukung oleh naskah D dan E; sedangkan kelompok ketiga didukung oleh kelompok F, G, dan H. Kesimpulan tersebut diambil setelah melakukan perbandingan terhadap 8 naskah dari sebuah Teks S dengan hasil sebagaimana di bawah ini.
Setelah memperoleh adanya versi seperti tersebut di atas, penelitian selanjutnya di lakukan untuk memperoleh perbedaan pada tingkat varian.
Kedua, untuk memperoleh perbedaan pada tigkat varian yang terdapat dalam naskah seversi maka dilakukan perbandingan alinea, kalimat, dan kata pada semua naskah seversi. Sebagian besar naskah Melayu hampir seluruh alineanya memiliki perbedaan baik dalam bentuk kalimat maupun diksinya. Sebagai contoh, berikut ini perbedaan alinea pertama pada eksordium Hikayat Nabi Wafat yang terdapat alam empat naskah variabel.
PERBANDINGAN TEKS (ALINEA PERTAMA)
A.
Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.
Sekali peristiwa Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam pergi sembahyang subuh di mesjid.
B.
Wa bihi nasta’in billahi ‘ala ini hikayat ceritera tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
Maka sekali peristiwa Rasulullah sembahyang subuh ke dalam mesjid itu.
C.
Wa bihi nasta’in ‘ala ini hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh.
D
Wa bihi nasta’in ‘ala ini hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh.
Pada tabel di atas terlihat meskipun keempat naskah tersebut adalah seversi (alur, latar, penokohan, dan temanya sama) namun secara kebahasaan ketiganya mengalami banyak perbedaan. Pada awalnya, ungkapan “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini” (naskah variabel A dan B) memiliki varian “Wa bihi nasta’in ‘ala ini” (naskah variabel C dan D). Kemudian “peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.” (naskah variabel A) memiliki varian “hikayat cerita tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” (naskah variabel B), dan “hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” (naskah variabel C dan D).
Varian berikutnya ialah “Sekali peristiwa Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam pergi sembahyang subuh di mesjid.” (Naskah A), “Maka sekali peristiwa Rasulullah Rasulullah sembahyang subuh ke dalam mesjid itu.” (naskah B), dan “Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh.” (naskah C dan D). Untuk lebih jelasnya varian-varian tersebut dapat dibuat tabel sebagai berikut.
Varian
Dalam naskah
Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini
naskah variabel A dan B
Wa bihi nasta’in ‘ala ini
naskah variabel C dan D
peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.
naskah variabel A
hikayat ceritera tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
naskah variabel B,
hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
naskah variabel C dan D
Sekali peristiwa Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam pergi sembahyang subuh di mesjid.
naskah variabel A
Maka sekali peristiwa Rasulullah sembahyang subuh ke dalam mesjid itu.
naskah variabel B
Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh.
naskah variabel C dan D
Dari tabel di atas meskipun keempat naskah variabel tersebut diperkirakan seversi namun keempatnya secara paradigmatis memiliki persamaan yang membedakan di antara keempatnya. Berdasarkan data tabel dapat dibuat kekerabatan antar naskah sebagai berikut.
Ketiga, untuk mengetahui teks turunan dan teks yang diturunkan maka dilakukan perbandingan varian dan mencari umur naskah. Hasil perbandingan harus menunjukkan mana varian yang benar dan mana varian yang salah. Varian yang benar menunjukkan berasal dari naskah yang disalin, sedangkan varian yang salah menunjukkan adanya dugaan berasal dari naskah salinan Dalam kasus teks Hikayat Nabi Wafat di atas jika di buat dalam tabel maka akan terlihat varian yang benar dan yang salah serta data pendukungnya sebagai berikut.
Jika dibandingkan keempat teks di atas terlihat ada ungkapan “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini” (naskah variabel A dan B) dan ungkapan “Wa bihi nasta’in ‘ala ini” (naskah variabel C dan D). Secara struktural, ungkapan yang benar adalah “Wa bihi nasta’in ‘ala ini”. Ungkapan seperti ini sering digunakan dalam mukadimah khutbah wa bihi nasta’in ‘ala umurid dunya wad din. Artinya, “Dan dengan-Nya kami mohon pertolongan atas urusan dunia dan agama“. Diduga penulis naskah (A & B) melakukan overlaping dengan memberikan kata billahi setelah kata nasta’in. Padahal, kata tersebut tidaklah perlu diberikan jika telah ada kata bihi. Dengan demikian, penggunaan ungkapan yang benar adalah “Wa bihi nasta’in ‘ala” atau Wa nasta’in billah ‘ala.
Kata “peri” berarti “hal”¸ ”sifat”, “keadaan”. Dengan demikian, “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini peri hikayat nabiyullah” (naskah variabel A) berarti “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini hal atau keadaan hikayat nabiyullah”. Kata “peri” tersebut sifatnya adalah manasuka, artinya bisa diberi kata tersebut atau bisa juga tidak.
Berikutnya marilah kita perhatikan kalimat “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.” (Naskah variabel A) dan kalimat “Wa bihi nasta’in billahi ‘ala ini hikayat ceritera tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” (naskah variabel B). Pada naskah variabel A, pola kalimatnya adalah Ket S P O (S P O .Ket. ) sedangkan pada naskah variabel B berpola Ket SPO K, S. Secara struktural, Kalimat pada naskah variabel A lebih linear dibanding dengan variabel B yang terlihat sebagai kalimat yan berputar, berulang ulang, dan tidak lengkap (tanpa predikat). Kalimat pada naskah variabel C dan D yang berbunyi “hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” di samping keduanya memiliki kesamaan baik pada penulisan maupun pada kesalahannya. Dibandingkan dengan kalimat yang terdapat pada Naskah A dan B, kesalahan yang paling mencolok pada naskah C dan D ialah penggunaan sebutan “shallallahu ‘alayhi wa salam” yang seharusnya diberikan kepada Rasulullah diberikan kepada “rahmatullah”, sedangkan Rasulullah tidak diberi sebutan.
Wa bihi nasta’in ‘ala ini (C & D)
Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini (A & B)
rahmatullah taala (A & B)
rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam (C & D)
peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.
hikayat ceritera tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam. (naskah B)
Sekali peristiwa Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam pergi sembahyang subuh di mesjid.(naskah variabel A).
Maka sekali peristiwa Rasulullah sembahyang subuh ke dalam mesjid itu. (naskah B)
Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh. (naskah variabel C dan D).
Berdasarkan analisis dan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa naskah A sekerabat dengan naskah B, sedangkan naskah C sekerabat dengan naskah D. Meskipun sekerabat, kesalahan naskah B dalam kalimat yang tidak berpredikat “dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” dibetulkan dalam naskah A menjadi “peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.” sedangkan kesalahan lain “sembahyang subuh ke dalam mesjid itu”, tampaknya dibetulkan naskah A menjadi “pergi sembahyang subuh di mesjid”.
Naskah C dan D merupakan naskah yang diturunkan dari naskah A dan B. kesimpulan tersebut dapat dibuat diagram sebagai berikut.
Di samping teks di atas, dalam keempat naskah tersebut yang paling menarik dan mungkin dapat dijadikan dasar penentuan kekerabatan adalah ditemukannya varian dalam menyalin teks Al-Qur’an Azzumar 30 - 31. Setiap naskah berbeda dengan naskah yang lain, dan yang menarik juga berbeda dengan teks asalnya, yaitu Al-Qur’an Azzumar 30 – 31.
NASK AH
PERBANDINGAN TEKS YANG BERASAL DARI AL-QUR’AN
Al-QUR’AN Azzumar 30-31
Innaka mayyitun wa innahum mayyitun, tsumma innakum yaumal qiyamati ‘inda rabbikum takhtashimun.
A.
Innaka mayyitun tsumma ilaykum yaumal qiyamati takhtashimun.
B.
Innaka mayyitun wa innahum mayyitun yaumal qiyamati takhtashimun.
C.
Innaka mayyitun tsumma innakum yaumal qiyamati takhtashimun.
D.
Innaka mayyitun tsumma innaka yaumal qiyamati takhtashimun.
Berdasarkan keempat teks tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan dugaan adanya kesalahan penyalinan, dengan asumsi semakin banyak kesalahan penyalinan semakin jauh pula teks tersebut dari turunan teks aslinya. Di samping itu, juga tetap menggunakan kriteria kesalahan mekanis yang meliputi adanya beberapa bagian yang ditanggalkan (lakuna), huruf yang hilang (haplografi), penyalinan maju dari perkataan ke perkataan yang sama (saut du même au même) suatu kata, suatu bagian kalimat, beberapa baris, atau satu bait terlampui, atau sebaliknya ditulis dua kali (ditografi), atau ada tambahan (interpolasi) dan kesalahan disengaja dari penyalinan.
Dari hasil analisis kesalahan seperti yang terdapat pada tabel di atas naskah B dan C memiliki jumlah kesalahan yang sama meskipun kualitas kesalahannya berbeda. Jumlah kesalahan tiap kedua naskah tersebut jika dibandingkan dengan naskah A dan D yang berjumlah sama-sama 4 menunjukkan lebih sedikit. Artinya, naskah B dan C lebih dekat kepada teks aslinya atau memiliki keturunan yang lebih dekat dengan teks aslinya, sedangkan naskah A dan D mempunyai keturunan lebih jauh dari teks aslinya.
Naskah B dan C meskipun jumlah kesalahannya sama namun jika dilihat dari segi kualitasnya ternyata berbeda. Kesalahan naskah B secara tekstual struktural terdapat pada Alqur’an :31, yaitu “tsumma innakum yaumal qiyamati ‘inda rabbikum takhtashimun” menjadi “yaumal qiyamati takhtashimun”, kesalahan tersebut nampaknya merupakan kesalahan teknis, yaitu terlangkahinya “tsumma innakum” dan “‘inda rabbikum”. Pada ayat sebelumnya, yaitu Al-Qur’an 30 terlihat teks naskah B sesuai dengan teks aslinya dalam Al-Qur’an, yaitu “Innaka mayyitun wa innahum mayyitun”. Hal ini berbeda dengan naskah C, yang kesalahannya ada pada kedua ayat tersebut. Kesalahan pertama terdapat pada penyalinan Al-Qur’an 30, yaitu “Innaka mayyitun wa innahum mayyitun” menjadi “Innaka Mayyitun” dan Al-Qur’an 31 “tsumma innakum yaumal qiyamati ‘inda rabbikum takhtashimun” menjadi “tsumma innakum yaumal qiyamati takhtashimun”. Dalam hal ini tampaknya terjadi lakuna “wa innahum mayyitun” dan lakuna “inda rabbikum”.
Dilihat dari segi maknanya, Perbedaan antara Al-Qur’an 30-31 dengan naskah B, yaitu “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula. Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhanmu.” menjadi “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula pada hari kiamat akan berbantah-bantahan.” Teks Alquran yang terlangkahi (lakuna) pada naskah B ialah “Kemudian sesungguhnya kamu” dan “di hadapan Tuhanmu.” Pada naskah C teks yang terlangkahi adalah “sesungguhnya mereka akan mati pula” dan “di hadapan Tuhanmu”.
Dari analisis data kesalahan di atas dapat digunakan untuk memperbaiki kesimpulan sementara analisis kesalahan sebelumnya sehingga menjadi naskah B diturunkan menjadi naskah A kemudian diturunkan menjadi naskah C dan diturunkan lagi menjadi naskah D.
Analisis Literer
Dalam penelitian filologi, data-data yang dijadikan perbandingan biasanya berupa kosa-kata, kalimat, atau alinea. Untuk memaknai data-data tersebut diperlukan konteks data, yaitu segala sesuatu yang menyertai atau yang berada di sekitar data. Konteks data tersebut dapat dihadirkan melalui unsur-unsur intrinsik karya sastra baik karya tersebut ber-genre prosa, puisi, maupun drama.
Cara memaknai data seperti di atas disebut analisis literer. Secara definitif, analisis literer adalah sebuah analisis dengan cara mengurai bagian-bagian data dengan menggunakan kategori unsur-unsur intrinsik karya sastra kemudian melihat hubungan fungsional antar unsur-unsur tersebut untuk memperoleh pengertian data yang tepat dan pemahaman makna data secara keseluruhan. Secara teoretis unsur intrinsik karya sastra ini, untuk fiksi bisa berupa alur, latar, penokohan, dan tema, sedangkan untuk puisi bisa berupa diksi, pengimajian, bahasa figuratif, verivikasi, dan tatawajah di samping unsur tema, perasaan, nada dan suasana.
Sebagai contoh, data kesalahan penyalinan Al-Qur’an 30-31 di atas adalah merupakan data yang semata-mata untuk menunjukkan adanya kesalahan penyalinan. Tetapi untuk mengungkap apakah kesalahan tersebut merupakan kesalahan mekanis atau kesalahan yang disengaja maka perlu dilakukan penelusuran secara struktural fungsional data tersebut terhadap teks secara keseluruhan untuk itulah dilakukan analisis literer sebagai berikut.
Data Al-Qur’an tersebut dalam teks hikayat Nabi Pulang ke rahmatullah disampaikan oleh malaikat Jibril bersama malaikatul maut (Izrail) kepada Nabi Muhammad saw untuk membangun alur cerita berikutnya, yaitu permintaan Rasulullah kepada umat Islam untuk menagih atau menuntutnya jika ia memiliki utang atau perkara yang harus diadili. Hal ini dilakukan Rasulullah sebab beliau tidak ingin berbantah-bantahan dengan kaumnya di hadapan Allah kelak di hari kiamat. Dengan demikian, jika dalam teks naskah A, B, C, dan D yang keempat-empatnya masih memiliki kata kunci “mati”, “hari kiamat” dan “berbantah-bantahan maka dapat dipastikan kesalahan yang terjadi adalah kesalahan mekanis (tidak disengaja) sebab masih sesuai dengan alur cerita berikutnya. Tetapi sebaliknya jika ketiga kata kunci tersebut tidak dikembangkan dalam peristiwa pada alur berikutnya maka kesalahan yang terjadi tersebut adalah kesalahan yang disengaja sehingga harus dijelaskan untuk kepentingan apa perubahan tersebut dibuat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar