Selasa, 20 Mei 2008

Penelitian Teks Tulis

Penelitian Teks Tulis
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penelitian teks tulis
u Penerapan tekstologi Lichcev disesuaikan dengan karakteristik teks.
u Karakteristik teks tulis sangat tergantung dengan naskah atau kodeks.
u Sebelum melakukan penelitian teks hendaknya melakukan penelitian naskah atau kodeks.
KODIKOLOGI
u Kodikologi adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk atau semua aspek naskah meliputi : bahan, umur, tempat penulisan, perkiraan penulis naskah.
Penelitian Bahan Naskah
u Bahan naskah Nusantara bermacam-macam antara lain sebagai berikut.
u Karas yaitu semacam papan atau batu tulis digunakan untuk sementara (naskah Jawa Kuna).
u Lontar (ron tal) = daun tal atau daun siwalan) (naskah Jawa, Bali dan Lombok).
u Dluwang = kertas Jawa dari kulit kayu.
u Kulit kayu, bambu, dan rotan Naskah Batak)
u Kertas Eropa yang diimpor pada abad ke-18 dan ke-19 menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih baik (Jawa dan Melayu).

Penelitian Umur Naskah
u Umur naskah dapat dirunut dari dalam (interne evidentie) dan keterangan dari luar (externe evidentie).
u Perunutan dari dalam ditunjukkan dari adanya fenomena berikut ini.
u Kolofon, yaitu keterangan waktu awal dan akhir penulisan teks.
u Watermark (cap air), yaitu lambang pabrik pembuat kertas yang menunjukkan tahun pembuatan kertas. Naskah yang ditulis di atas kertas seperti ini menunjukkan setidak naskah ditulis setelah tahun pembuatan kertas.
Perunutan dari luar ditunjukkan dari adanya fenomena berikut ini.
u Catatan di sampul luar , sampul keras depan, dan belakang naskah.
u Catatan asal mula naskah menjadi milik berbagai perpustakaan.
u Peristiwa-peristiwa sejarah yang disebut dalam teks menunjukkan bahwa teks ditulis setelah terjadinya peristiwa.
u Penyebutan teks pada teks lain yang telah memiliki angka tahun yangh jelas menunjukkan bahwa teks tersebut setidaknya penulisan paling akhir sebelum diterbitkannya teks yang telah menyebutkannya.
Contoh Kasus
u Teks Hikayat Hang Tuah memuat peristiwa kekalahan Portugis oleh bangsa Belanda (1641) tetapi Hikayat tersebut juga telah disebutkan dalam Oud en Nieuw Oost Indien karangan Francois Valentijn (1726). Hal ini menunjukkan bahwa saat penulisan paling awal (terminus a quo) teks Hang Tuah setelah tahun 1641 tetapi penulisan paling akhir (terminus ad quem) sebelun tahun 1726.

Penelitian Tempat Penulisan Naskah
u Tempat penulisan naskah biasanya dijelaskan pada kolofon yang terletak di akhir naskah.
u Tempat penulisan naskah sangat berguna untuk memahami makna naskah terutama dalam memaknai kosa-kosa kata yang digunakan oleh masyarakat tertentu berdasarkan visi dan misi penulisan naskah. Tempat-tempat penulisan yang menunjukkan nama ibu kota atau negara besar kemungkinannya teks ditulis untuk kepentingan istana, sedangkan teks yang ditulis di daerah-daerah yang bukan menunjukkan nama ibu kota dan negara besar kemungkinannya teks ditulis untu kepentingan rakyat, keagamaan, dan sebagainya.

Penelitian Perkiraan Penulis Naskah
u Pengetahuan tentang penulis naskah terutama secara sosiologis dapat menjelaskan pandangan dunia pengarang sehingga dapat membantu untuk memahami makna teks secara keseluruhan.
u Penulis naskah dapat diperkirakan dari pengetahuannya tentang segala sesuatu yang telah ia tulis dalam teks.
u Bukhari Al-Jauhari, penulis Tajus- Salathin pengetahuannya yang sangat mendalam tentang agama menunjukkan ia seorang ulama, sedangkan pengetahuannya tentang seluk beluk kerajaan menunjukkan bahwa ia pernah tinggal di kerajaan atau dekat dengan pemegang kekuasaan. Status sosial pengarang seperti di atas dapat menunjukkan pandangan dunia siapa yang ia wakili dalam menuliskan teks tersebut.

Perbandingan Teks
u Perbandingan dilakukan terhadap teks yang memiliki lebih dari satu naskah (bukan naskah tunggal/codeks unicus).
u Perbandingan dilakukan untuk mencari ada tidaknya versi dan varian.
u Untuk mencari adanya ada tidaknya versi dilakukan perbandingan terhadap unsur-unsur intrinsik teks.
u Pencarian ada tidaknya varian (perbedaan kata dan kalimat) dilakukan terhadap teks yang seversi. Teks yang tidak seversi tidak perlu dicari variannnya.
u Hasil perbandingan teks setidaknya dapat merunut sejarah dan kekerabatan teks.
Metode Penyuntingan Teks
u Setelah teks diketahui asal-usulnya maka untuk selanjutnya dilakukan kerja penyuntingan teks. Kerja penyuntingan maksudnya ialah mempersiapkan teks agar layak untuk diterbitkan.
u Sebagaimana diketahui bahwa teks Melayu di samping ditulis dalam huruf Arab Melayu atau huruf Jawi, teks Melayu juga ditulis tanpa disertai tanda awal alenia maupun pungtuasi. Oleh karena itu, tugas penyuntingan berarti meletakkan tanda alinea, pungtuasi dan menjelaskan kosa-kosa kata yang arkaik serta varian yang terjadi pada setiap teks.
Macam-macam Metode Penyuntingan
u Macam-macam metode penyuntingan sangat ditentukan oleh banyaknya teks yang ditemukan. Secara garis besar ada dua macam metode penyuntingan, yaitu 1) metode edisi naskah tunggal dan 2) metode edisi naskah jamak.

Metode edisi naskah tunggal
u Naskah dapat ditentukan sebagai naskah tunggal atau disebut juga sebagai codex unicus jika setelah dilakukan penelusuran keberadaan teks diberbagai tempat penyimpanan naskah ternyata memang hanya naskah yang ditemukan itulah satu-satunya naskah yang ada.
u Metode Naskah tunggal ada dua macam, yaitu metode diplomatik dan metode standar.
Metode Diplomatik
u Penyuntingan apa adanya atau semurni mungkin, atau disebut juga sebagai kerja reproduksi dengan melakukan foto kopi atau dengan mengabadikan teks dalam mikro film.
u Cocok untuk kepentingan akademis sebagai ganti naskah asli yang mungkin sudah lapuk sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan pembacaan.
u Penyuntingan hanya memberikan catatan pada bagian awal sebagai pengantar atau deskripsi teks yang meliputi asal-usul teks, mengapa teks tersebut ditentukan sebagai codex unicus, dan sekala reproduksi yang telah dilakukan. Sebaiknya menggunakan sekala 1 : 1.
Metode Standar
u Penyuntingan dilakukan sebagaimana mestinya, yaitu melakukan pembagian alenia, memberikan pungtuasi, dan mentransliterasikan huruf teks ke dalam huruf latin.
u Setiap perbaikan terhadap kesalahan mekanis maupun perubahan teks karena kesengajaan selalu diberi penjelasan yang disebut aparat kritik.

Metode Teks Jamak
u Macam-macam metode edisi naskah jamak meliputi :
u 1. metode intuitif,
u 2. metode landasan,
u 3. metode gabungan, dan
u 4 metode objektif.
Metode Intuitif
u Peneliti (filolog) bekerja secara intuitif menentukan teks yang dianggap paling tua, paling baik, dan paling mudah dibaca.
u Tempat-tempat yang mengalami perubahan, korupsi, atau dipandang tidak jelas diperbaiki berdasarkan naskah lain dengan memakai akal sehat, selera baik, dan pengetahuan luas.
u Metode ini hanya bisa dilakukan oleh peneliti yang sudah sangat berpengalaman.
u Digunakan sampai pada abad kesembilan belas.
u Pada saat ini metode ini sudah tidak dapat digunakan lagi, tetapi beberapa bagiannya seperti pada penentuan teks yang paling baik bisa dilanjutkan dengan metode landasan.
Metode Landasan \ Legger
u Naskah diteliti untuk menentukan naskah yang paling baik dengan melakukan penelitian terhadap kebahasaan, kesastraan, sejarah dan lain-lain.
u Naskah yang telah dianggap paling baik setelah melalui beberapa penelitian dijadikan landasan atau induk teks untuk penerbitan.
u Varian-varian yang terdapat pada naskah yang seversi dimuat dalam aparat kritik, yaitu perangkat pembanding yang menyertai penyajian suatu naskah.
Metode Objektif
u Metode ini telah digunakan sejak 1830 oleh filolog Jerman Lachmann dkk.
u Penelitian dilakukan untuk menemukan hubungan kekeluargaan naskah-naskah yang ditemukan atau disebut juga sebgai stema.
u Naskah yang memiliki kesalahan yang sama di tempat yang sama dapat disimpulkan sebagai naskah yang sekerabat.
u Setelah perunutan silsilah dan sejarah teks baru diberikan kritik teks pada naskah yang memiliki perubahan atau kesalahan.
Metode Gabungan
u Penyuntingan didasarkan atas adanya kesamaan bacaan di sebagaian besar naskah yang ditemukan.
u Jika ada bacaan yang meragukan yang dijumpai pada mayoritas naskah digunakan penyesuaian dengan norma tatabahasa, jenis sastra, keutuhan cerita, faktor-faktor literer lain, dan latar belakang pada umumnya.
u Hasil suntingan merupakan gabungan bacaan dari semua naskah yang ada dan dapat dikataan sebagai teks baru yang secara struktural merupakan teks yang hibrid.
u Hasil teks suntingan juga tidak dapat menggambarkan sejarah teks dan tidak dapat meletakkan silsilah atau kekerabatan beberapa naskah yang ditemukan.
- Transliterasi

Laporan penelitian teks Tulis
u Pendahuluan = Laporan Penelitian Teks lisan
u Kajian Teori = Laporan Penelitian Teks Lisan
u Cara Penelitian = Laporan Penelitian Teks Lisan
u Hasil dan Pembahasan =
u Kesimpulan = Laporan Penelitian Teks Lisan
Hasil dan Pembahasan
Inventarisasi naskah
Deskripsi naskah
Penentuan umur naskah
Pembacaan teks
Perbandingan teks
Penentuan metode penyuntingan
Penyuntingan
Inventarisasi naskah
u Sebelum menginventarisasi naskah terlebih dahulu menentukan judul naskah yang akan diteliti.
u Mencari keberadaan semua naskah tersebut diberbagai katalog baik katalog milik perpustakaan, museum, dan kolektor naskah dalam maupun luar negeri
Katalog Perpustakaan Nasional RI
u Catalogus der Maleische, Javaansche Kawi HSS van Bataviaasch, 1872 disusun Cohen Stuart. Katalog tertua.
u Catalogus der Maleische HSS in het Museum van het Bataviaasch van Kunsten en Wetenschaapen, 1909 disusun van Ronkel
u Katalogus Koleksi Naskah Melayu Museum Pusat, 1972
u Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara, Perpustakaan Nasional RI, 1998
Katalog Perpustakaan Belanda
u Juynboll 1899. Catalogus van de Maleische en Sundaneesche Handschriften.
u Ronkel van. 1921. Supplement-Catalogus der Maleische en Minangkabausche Handschriften in de Leidsche Universiteits Bibliotheek.
u Wieringa. E.P.1998. Catalogue of Malay and Mingangkabau Manuscripts in the Library of Leiden University and Other Collections in the Netherlands.
Katalog Perpustakaan Inggris
u Ricklefs dan Voorhoeve.1977. A Catalogue of Manuscripts in Indonesian Languages in British Public Collections.

Katalog Perpustakaan Malaysia
u Howard, H. 1966. Malay MSS. A Bibliographical Guide.
Deskripsi Naskah
u Deskripsi naskah meliputi :
u Judul naskah
u Tempat penyimpanan naskah
u Nomor naskah
u Ukuran naskah
u Jumlah halaman
u Jumlah baris pada setiap halaman
u Bentuk huruf
u Bahasa
u Warna tinta
u Alas naskah
u Garis tebal dan tipis
u Kondisi naskah
u Kolofon
u Gambar
u Jilid naskah
Kolofon
u Kolofon adalah penjelasan atau keterangan yang diberikan oleh pengarang atau penyalin yang basanya menjelaskan tempat dan waktu awal atau akhir penulisan.
u Kolofon biasanya terletak di akhir naskah, namun sering juga dijumpai di awal naskah.
Gambar
u Gambar yang terdapat dalam naskah ada dua macam, yaitu ilustrasi dan iluminasi.
u Ilustrasi adalah gambar yang digunakan untuk memperjelas identifikasi tokoh, jalan cerita atau makna teks.
u Ilustrasi diberikan pada halaman-halaman tertentu dekat dengan halaman yang memuat tokoh, jalan cerita, atau makna teks.
Iluminasi
u Iluminasi adalah gambar yang berfungsi sebagai pembingkai sebuah teks yang biasanya terdapat pada halaman 1 dan 2.
u Iluminasi ada tiga jenis, yaitu :
u Arlauh dekorasi yang membingkai seluruh teks,
u Unwan dekorasi yang terdapat pada bagian atas teks, dan
u Samsah dekorasi yang terdapat di tengah teks dan berbentuk oval.
Penentuan umur naskah
u Pelaporan umur naskah berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan dilakukan.
u Penemuan tahun yang berupa tahun Hijriah harus dilaporkan dalam bentuk tahun Masehi dengan menggunakan perhitungan manual dengan menghitung umur tahun Hijriah dan konversinya dalam tahun Masehi.
Pembacaan teks
u Hasil pembacaan dilaporkan dalam bentuk suntingan yang disertai pembagian alinea, kalimat, penulisan huruf kapital, dan pemberian pungtuasi.
Perbandingan teks
u Hasil perbandingan teks dilaporkan dalam bentuk hasil suntingan dengan memberikan aparak kritik pada bagian-bagian yang mengalami perubahan atau kesalahan.
u Contoh :
Sesesungguh-nya Imam* itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya. (HR Muslim).
Pada naskah b tertulis Imam/ Khalifah, sedangkan pada naskah C tertulis khalifah.
• Imam paham kepemimpinan religius, sedangkan khalifah adalah kepemimpinan dunia (sekuler).
• Penyamaan imam dan khalifah dan menunjukkan adanya pemahaman yang tidak membedakan antara kedua istilah tersebut dengan konsep yang tidak jelas (apakah cenderung ke imam atau khalifah)

Penentuan metode penyuntingan
u Metode penyuntingan yang digunakan harus sudah dijelaskan sebelum melakukan penyuntingan.
u Pemilihan metode penyuntingan harus dilakukan berdasarkan atas realitas naskah yang ditemukan dan alsan lain yang logis.
Penyuntingan dan Transliterasi
u Penyuntingan adalah kerja mempersiapkan teks agar dapat diterbitkan baik teks tersebut disunting dengan menggunakan huruf aslinya (tanpa malakukan transliterasi) misalnya, huruf Jawi, huruf Jawa dan sebagainya.Transliterasi adalah kerja mengalihhurufkan sebuah teks dari huruf satu ke huruf lain dari ejaan satu ke ejaan yang lain.

Rabu, 23 April 2008

Penelitian Teks Lisan

Penelitian Teks Lisan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penelitian teks lisan
1. Penerapan tekstologi Lichacev disesuaikan dengan karakteristik teks lisan.
2. Karakteritik penurunan teks lisan dan teks tulis saling tumpang tindih.
3. Pembandingan unsur instrinsik lebih diutamakan dari pada pembandingan unsur alinea, kalimat, dan kata.
4. Pembandingan terhadap teks yang berbeda bahasa hendaknya memperhatikan prinsip monogenesis dan poligenesis.
Pengambilan data penelitian teks lisan.
u Pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara dan pengamatan.
u Pengambilan data harus disertai dengan konteks data.
u Konteks data berisi segala sesuatu yang berada di sekitar data saat data tersebut diambil, yaitu meliputi nama daerah, situasi dan kondisi daerah (data geografis), suku dan data demografis, bahasa yang digunakan.
u Pengambilan data juga harus menyertakan nama informan, usia, jenis kelamin, pekerjaan, suku bangsa, tempat lahir informan, bahasa yang dikuasai informan, judul cerita lisan yang disampaikan informan, tempat cerita disampaikan informan (termasuk suasananya), tanggal pengambilan data, nama pengambil data, alamat sementara pengambil data, suku bangsa, usia, dan jenis kelamin.
Laporan penelitian teks lisan
• Pendahuluan
• Kajian Teori
• Cara Penelitian
• Hasil dan Pembahasan
• Kesimpulan
Pendahuluan
• Latar Belakang Masalah berisi segala sesuatu yang berada di sekitar permasalahan teks lisan.Misalnya, keberadaan teks lisan yang selalu tidak stabil dan bisa dimiliki oleh setiap orang perlu dilakukan pendataan teks sebagai HAKI suatu masyarakat.
• Fokus Penelitian merupakan pengerucutan permasalahan yang bersifat umum menjadi spesifik serta mudah dilakukan penelitian. Pendeskripsian cerita rakyat masyarakat X adalah umum. Lebih baik pendeskripsian mitologi masyarakat X.
• Tujuan Penelitian merupakan arahan penelitian yang berkaitan dengan fokus penelitian.
• Kegunaan Penelitian merupakan fungsi hasil penelitian baik untuk pemanfaatan praktis maupun teoretis.

Kajian Teori
• Kajian teori meliputi semua teori yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan fenomena permasalahan peneltian serta untuk menganalisis data yang telah diperoleh di lapangan. Misalnya, teori yang membahas tentang karakteristik teks lisan digunakan untuk memahami penurunan teks lisan berikut dengan kasus-kasus yang ada di dalamnya.
Cara Penelitian
• Cara penelitian berisi penjelasan bagaimana desain penelitian, data dan subjek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen peneltian, teknik penentuan kehandalan dan keabsahan data, dan teknik analisis data.
Hasil dan Pembahasan
• Hasil dan pembahasan peneltian merupakan pencarian jawaban atas permasalahan yang telah dikemukakan dalam pendahuluan dan diarahkan dalam tujuan penelitian.Misalnya, untuk mendeskripsikan mitologi maka perlu diungkapkan deskripsi unsur intrinsiknya dan model penurunannya serta makna perbedaan teks jika ada.
Kesimpulan
• Kesimpulan merupakan jawaban-jawaban atas adanya pertanyaan yang telah dikemukakan pada pendahuluan serta telah ditelusuri dalam hasil dan pembahasan. Kesimpulan juga dapat berupa saran dan implikasi atas adanya jawaban penelitian.

Rabu, 16 April 2008

Ilmi Bantu Filologi

Ilmu Bantu Filologi
Untuk mencapai tujuan filologi seperti yang telah dibahas di atas, seorang filolog harus mampu memahami fenomena-fenomena yang muncul sehubungan dengan munculnya sebuah teks. Secara fenomenologis, setiap teks memiliki tiga karakter khas sebagai berikut. Pertama, teks selalu menggunakan bahasa sebagai media untuk menyimpan dan mengkomunikasikan isi teks. Kedua, kandungan teks sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu menyimpan berbagai macam ilmu pengetahuan. Ketiga, teks sebagai artefak juga memperoleh perlakuan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat pemiliknya. Ketiga karakteristik teks tersebut menuntut para filolog untuk memiliki ilmu bantu yang berpangkal dari ketiga karakteristik tersebut agar dapat digunakan untuk mengungkap nilai-nilai budaya yang terdapat dalam teks.
Karakter teks pertama, yaitu teks selalu menggunakan bahasa sebagai media untuk menyimpan dan mengkomunikasikan isi teks menuntut adanya kemampuan untuk mengenal paleografi, ilmu bahasa (linguistik), berikut dengan beberapa cabangnya seperti etimologi, etnolinguistik, sosiolinguistik, stilistik, dan pengetahuan bahasa teks (Melayu, Jawa, Sunda, Bali, dan sebagainya) serta bahasa yang mempengaruhi bahasa teks Nusantara, yaitu Arab dan Sansekerta. Ilmu kebahasaan tersebut merupakan modal dasar untuk merebut makna teks secara formal. Di samping itu, pengetahuan kebahasaan juga membantu filolog untuk menjelaskan atau mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat dalam teks pada tataran formal tekstual.
Karakter teks yang kedua, yaitu teks menyimpan berbagai macam ilmu pengetahuan menuntut filolog untuk mengungkapkan lebih jauh makna teks setelah menjelaskan teks secara formal tekstual berdasarkan ilmu kebahasaan. Sesuai dengan kandungan teks (sebagaimana yang dijelaskan pada bab terdahulu) yang meliputi masalah ilmu sastra & karya sastra, keagamaan, filsafat, ilmu hukum, sejarah, sampai masalah kebudayaan, para filolog dituntut untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat mengungkapkan dan menjelaskan ilmu-ilmu yang terkadung dalam teks tersebut. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut ialah ilmu pengetahuan agama (Islam, Hindu, dan Budha), ilmu sastra berikut dengan cabang-cabangnya, ilmu hukum adat, sejarah, dan kebudayaan.
Karakteristik ketiga, yaitu teks sebagai artefak dan juga memperoleh perlakuan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat pemiliknya menuntut seorang filolog untuk memanfaatkan ilmu kebudayaan. Dengan ilmu pengetahuan kebudayaan (anthropologi dan folklor), para filolog diharapkan dapat mengungkapkan rahasia mengapa suatu masyarakat memperlakukan sebuah teks dengan suatu perlakuan tertentu. Misalnya, untuk membuka sebuah naskah yang dimiliki oleh suku Kerinci di Jambi masyarakat sebelumnya harus mengadakan suatu upacara ritual dan pesta rakyat. Di Jawa, untuk menurunkan (menyalin) sebuah teks tertentu seseorang diharuskan mengikuti upacara ritual tertentu seperti harus puasa menjalankan laku perihatin.
Secara rinci ilmu bantu yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam teks adalah sebagai berikut.


1. Paleografi
Paleografi adalah ilmu yang mempelajari bermacam-macam tulisan (huruf ) kuna (Soelastin-Soetrisno dalam Baroroh Baried, 1983:97). Menurut (Niermeyer, 1974:47) paleografi mempuyai tujuan utama menjabarkan tulisan kuna karena beberapa tulisan kuna sangat sulit dibaca. Di samping itu, juga bertujuan menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum sebuah tulisan sehingga dapat ditentukan waktu dan tempat setiap bentuk tulisan dari aksara yang digunakan. Semula paleografi digunakan untuk membaca tulisan kuna yang terdapat dalam prasasti, namun pada saat sekarang juga digunakan untuk membaca tulisan kuna yang ada dalam naskah.
Aksara yang digunakan dalam Prasasti
Brahmi (100 – 400 M)
Pengenalan aksara, dalam arti telah ditemukan artefak yang bertuliskan aksara, paling dini di wilayah Indonesia adalah dengan ditemukannya aksara Brahmi yang terdapat pada pecahan gerabah di Bali yang dipastikan berasal dari kurun waktu antara 150 M dan 200 M. Tulisan ini digunakan di India tenggara pada periode 100 – 400 M. Menurut Hunter (via Kumar, 1996:xv) adanya penemuan gerabah tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi jaringan dagang internasional yang luas dari cina ke Timur Tengah melalui India dan Asia Tengara yang keberadaannya sudah berkembang sejak milenium pertama Masehi. Menurut Coulmas (1989:182) dari aksara Brahmi inilah sistem aksara di Indonesia dapat dirunut.
Palawa
Aksara ini digunakan untuk menuliskan bahasa Sansekerta di kerajaan Palawa di India Selatan. Menurut J.G. Casparis (melalui Soelastin Soetrisno, :98) di luar kerajaan Palawa, tulisan ini digunakan di Asia Tenggara yang termasuk daerah pengaruhnya, yaitu mulai dari Vietnam Selatan, Kamboja, Muangthai Selatan, semenanjung Malaya, dan wilayah Nusantara. Menurutnya, Aksara Palawa ini ada dua macam, yaitu Palawa Awal dan Palawa Lanjut.
Palawa Awal (300 M – 500 M)
Aksara ini ditemukan pada prasasti Kutai (Yupa) di Kalimantan Timur. Sebuah prasasti yang berisi persembahan raja yang ditujukan kepada para agamawan. Menurut J.P. Vogel (Sedyawati, 2004:16) tulisan ini memiliki hubungan dengan tulisan pada inskripsi di Vietnam dan Sri Langka serta dengan prasasti yang diterbitkan oleh dinasti Palawa di India Selatan. Dari tipe tulisannya yang menunjukkan hubungan antardaerah tersebut, prasasti Kutai (Yupa) oleh Vogel penanggalannya diperkirakan sekitar 400 M. Hal ini bertalian erat dengan prasasti di Ciaruteun yang diperkirakan penanggalannya pada 450 M. Dengan demikian, tulisan Palawa awal digunakan pada sekitar tahun 300 M – 500 M
Palawa Akhir (700 – 800 M)
Aksara ini merupakan suatu sistem tulisan yang dipakai dalam prasasti Sriwijaya, seperti prasasti Telaga Batu, Kedukan Bukit Talang Tuwo, Palembang, Kota Kapur, dan Karang Brahi yang sebagian besar di tulis pada sekitar abad ketujuh. Dalam catatan musafir Cina I Ching diceritakan bahwa ia singgah di Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sansekerta dalam perjalanan ke India, tempat ia akan menekuni teks-teks agama Buddha. Dalam akhir abad kedelapan Sriwijaya dikenal karena perkembangan ilmu agama Buddha, tetapi sebelum itu rupanya sudah menjadi tempat menimba ilmu. Dapat diperkirakan bahwa pada saat itu penggunaan bahasa Melayu dengan sentuhan bahasa Sansekerta (terutama pada kegiatan tulis menulis) telah mengalami kemajuan dengan didapatinya penggunaan tulisan dengan huruf Palawa akhir yang suratannya canggih.
Kawi (900 – 1700 M)
Aksara Palawa yang digunakan pada abad ketujuh dan delapan Masehi telah mengalami perubahan sejak memasuki abad kesembilan sehingga berbeda dengan aksara yang digunakan di India. Aksara baru tersebut dinamakan aksara “Kawi” dan digunakan selama sekitar 800 tahun di hampir seluruh kawasan Nusantara termasuk Melayu. Aksara Hanacaraka di Jawa dan Bali diturunkan secara langsung dari aksara Kawi.
Aksara yang digunakan dalam naskah
1. Aksara Arab / Aksara Jawi (1400 – Sekarang)
Aksara Arab digunakan dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan lafal bahasa Melayu. Lafal c, g, p, dan ng ditulis dengan memodifikasi huruf (ج ) yang diberi titik tiga di bawahnya untuk lafal “c“, huruf ( ك ) yang diberi titik tiga di bawahnya untuk lafal “g“, huruf (ف ) yang diberi titik tiga di atasnya untuk lafal “p”, sedangkan huruf ( ع ) yang dibveri titik tiga di atasnya untuk lafal “ng”. Meskipun sebagian besar menggunakan akasara Arab namun orang Melayu lebih senang menggunakan aksara hasil modifikasi ini dengan menyebutnya akasara Jawi.
Aksara Jawi ini digunakan untuk menuliskan hampir semua naskah Melayu, baik yang berasal dari wilayah Nusantara (Indonesia) maupun Malaysia. Penggunaan aksara dengan modifikasi seperti di atas juga didapati di berbagai pesantren di Jawa untuk kepentingan penulisan makna dan tafsir Al-Qur’an, hadis, dan buku-buku yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa dan dinamakan sebagai huruf “pegon”. Besar kemungkinannya modifikasi huruf Arab tersebut telah digunakan lebih dahulu di kalangan pesantren di Jawa kemudian baru digunakan untuk menuliskan teks Melayu. Itulah sebabnya orang Melayu menamakan aksara tersebut sebagai aksara Jawi.
Aksara Latin (1800 – sekarang)
Aksara Latin digunakan untuk menuliskan naskah-naskah Melayu yang telah ditransliterasikan atau naskah-naskah Melayu yang diterbitkan oleh penerbit yang bertujuan untuk memperkenalkan teks Melayu kepada Masyarakat umum (selain Melayu). Di samping itu, juga digunakan untuk menerbitkan surat kabar dan tidak jarang di dalam surat kabar tersebut juga terdapat teks cerita, hikayat, dan pantun. Untuk kepentingan penelitian filologi, sebaiknya menggunakan teks yang bertuliskan aksara Arab atau aksara Jawi tulisan tangan sebab naskah demikian merupakan data primer, sedangkan teks yang ditulisa dalam huruf Latin biasanya berupa hasil penelitian para orientalis yang kemudian diterbitkan dalam bentuk cetakan sehingga merupakan data sekunder.
2. Linguistik
Etimologi
Etimologi adalah ilmu yang menyelidik mengenai asal-usul kata serta perubahan-perubahannnya. Ilmu ini diharapkan dapat mengungkap sejarah kosa-kosa kata dengan melakukan penelitian penggunaan kata dari waktu ke waktu secara diakronis. Hasil penggunaan konsep kata dari penelitian tersebut secara sinkronis dapat ditentukan masa penulisan teks.
Kata “penengaran” misalnya, adalah bentuk arkaik dari kata “pendengaran”. Kata tersebut digunakan pada abad keenam belas sampai pada abad kedelapan belas Masehi. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa teks yang menggunakan kata tersebut setidak-tidaknya ditulis paling akhir pada abad ke delapan belas.
Di samping itu, penelitian secara etimologis juga dapat digunakan untuk memahami perubahan konsep makna bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang secara kultural dan struktural terkait dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Kata “ulama” misalnya, kata ini pada abad keenam belas digunakan dengan konsep makna “cerdik pandai”, sedangkan pada abad kesembilan belas telah digunakan dengan konsep makna “ahli dalam bidang agama”. Penggunaan konsep makna pertama justru muncul dalam masyarakat yang mayoritas agamanya adalah Islam atau masyarakat yang kebudayaannya diwarnai oleh sistem religi berdasarkan agama Islam, sedangkan penggunaan konsep makna yang kedua muncul pada masyarakat yang sekuler yang mencoba memisahkan antara kehidupan beragama dengan kebudayan profan.
Etnolinguistik
Dalam kamus linguistik (Kridalaksana, 1983:42) dinyatakan bahwa etnolinguistik ialah cabang lingusitik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan; atau cabang liguistik yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa. Ilmu ini sangat berguna untuk penelitian teks lisan baik yang bergenre mite, legenda, dan dongeng. Di samping itu juga sangat berguna untuk menentukan varian bahasa Melayu rendah.
Sosiolinguitik
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dalam bahasa Melayu, penyebutan orang pertama biasanya digunakan kata “hamba”, “patik”, “saya”, sedangkan kata “aku” biasanya subjeknya adalah orang yang memiliki status sosial tinggi.
Stilistik
Secara umum, stilistik adalah ilmu yang membicarakan tentang gaya yang digunakan oleh pengarang dalan karya tulisnya. Dengan berbekal stilistik seorang filolog secara sinkronik dapat memahami dan menjelaskan dari struktur kelas mana pengarang teks berasal, pembaca yang bagaimana yang diharapakan teks, dan pada masa kapan teks tersebut di produksi. Di samping itu, juga dapat dilacak secara diakronik perbedaan penerbitan teks dari masa ke masa. Penelusuran secara sinkronik, terhadap gaya bahasa teks dpt membantu filolog dlm pencaharian teks asli atau mendekati teks aslinya dan dalam penentuan usia teks.
Berikut ini beberapa teks yang mencerminkan masa penerbitan teks.
Teks Hikayat Rama ( abad keenam belas )
“Setelah sampailah ke negeri Indera Puri Negara maka hulubalang kedua itupun masuk mengadap raja Syaksya. Tatkala itu Raja Syaksya lagi semayam dihadap segala rakyat yang tiada tepermanai. Maka hulubalang kedua itu pun sujud menyembah Raja Syaksya lalu ke tanah kepalanya. Maka ia berlutut menyembah raja dan bersembahkan segala hal ihwal kelakuan raja itu. Setelah raja menengar kabar itu raja pun amarah lalu bertitah : “ Jika aku tiada menyerang negeri Biru Hasya Purwa bukan aku laki-laki dan bukan aku anak Berma Raja.” Maka bertitah pada Sardal dan Kamdakata, “Hai saudaraku kedua duduklah tuan hamba menunggu negeri ini, hamba pergi menyerang negeri Biru Hasya Purwa.””
Teks Tajus-Salathin (abad ketujuh belas )
“Maka Raja itu pun tunduk menengar katanya itu. Maka segala orang daripada segala pihak itu tercenganglah padanya. Dan dalam hal itu fakir pada telinga raja berkata, “Akulah malakul-maut datang mengambil nyawamu sekarang ini.”
Adapun apabila raja menengar katanya itu, takutlah ia sangat. Maka terbitlah daripada segala anggotanya peluh seperti air dari pancuran, dan bergerak segala tubuhnya seperti pohon kayu daripada angin. Dan katalah ia, “Hai malakul-maut, dapatkah engkau nanti sehingga aku ke rumahku dan berpesan akan anak istriku , dan kusukakan hati segala orang yang dipersakiti daripada aku.””
Teks Tuhfatun-Nafsi (abad kesembilan belas)
“Alkisah maka tersebutlah pula sultan Abdul Jalil di dalam johor. Maka apabila sudah opu-opu itu keluar maka banyaklah fitnah di dalam johor kerana seolah-olah negeri Johor itu berraja dua. Ada yang epada Raja Kecik, ada yang kepihak Sultan Abdul Jalil. Mangkin menyalalah fitnah daripada sehari kepada sehari, mangkin banyak fitnah mangkin besar, upama api mangkin besar nyalanya akhir-akhir tiada boleh dipadamkan lagi. Syahadan melarat api itu mengatakan Raja Kecik itu tiada tentu amat putera Marhum Mangkat Dijulang, sebab tiga kaul yang lalu itu bersalahan. Maka sampailah khabar itu kepada Raja Kecik maka marahlah ia, akan etapi masih disabarkan lagi.”
Teks Katjilaka’an (abad kesembilan belas bahasa Melayu Rendah / Melayu Cina)
“Itoe pasoekan barisan sinapan di Banjoebiroe banjaknja doewa Compagnie telah berbaris sampai di post Djamboe, setelah sampe di pinggir kampoeng marika itu berdjoempah sa’ekor kerbo jang baroe sadja telepas dari iketannja. Ini binatang memang doeloenja di iket di satoe poehoen, dari kaget lihat soldadoe soldadoe lantas paksa belari sampe talinja poetoes dan belari ngawoer di mana ada orang salagi enak berdjalan, sakoenjoeng di troeboek kerbo tadi.
Sebab dengan kaget maka satengah berlari masoek di bebrapa kolam-kolam jang penoeh aer, dan jang lari meninggalkan sinapannja, sebab di rasa pertjoema kaloe sabinatang begitoe besar mahoe di angen (di lawan). Ada tiga orang jang soeda toenjoek braninja mahoe lawan binatang itoe, tetapi pertjoema, kerbo angkat laloe di lempar dan di boewang ka pinggir djalan, kabetoelan di sawah, pakain dan badannja (si bertjilaka) masoek di loempoer, dan jang lain poela sebab koewatnja kerbo lantas katinggalan di badan. Rioehnja boekan boewatan, takoet dan soesah serta tjapik soeda hilang, sebab jang ditoebroek soeda tiada dikenali lagi, soeda di boengkoes loempoer separo ketawa terpingkel pingkel, setengahnja tiada bisa omong sebab badan terlaloe sakit.
Oentoeng sekali tiada kabar kematian.
3. Bahasa yang mempengaruhi teks
Bahasa Sansekerta
Bahasa Sansekerta adalah bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di wilayah India dan telah digunakan secara tekstual setidak-tidaknya sejak abad keempat Masehi. Fenomena tersebut didasarkan atas ditemukannya prasasti berbahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Palawa. Aksara ini digunakan oleh raja-raja dinasti Palawa di India Selatan. Bahasa ini juga digunakan dalam teks Hindu yang tersebar luas di wilayah Asia, Asia Timur, dan Asia tenggara.
Meskipun demikian, dewasa ini bahasa tersebut sudah tidak digunakan lagi atau sebagai bahasa mati. Oleh karen itu, bahasa ini hanya bisa dipelajari melalui teks-teks klasik. Dengan demikian, teks klasik di samping harus diketahui isinya dengan menggunakan bahasa Sansekerta sekaligus juga memberikan bahan pelajaran bahasa Sansekerta bagi kita.
Pengaruh bahasa ini sangat terasa terutama pada karya-karya sastra Jawa Kuna. Tidak hanya berupa penyerapan kosa kata dan frasa melainkan juga kutipan-kutipan yang disalin begitu saja tanpa diikuti terjemahan. Pengaruh seperti ini terlihat pada kakawin Ramayana, Utarakanda, dan Sang Hyang Kamahayanikan.
Terhadap teks baik yang berbahasa Jawa tengahan, bahasa Jawa Baru, bahasa Melayu, dan bahasa daerah lainnya hanya terlihat pada kata serapan baik yang berupa kosa kata maupun frase. Kata “pujangga”, “suwarga”, “puasa” adalah merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta.
Bahasa Arab
Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw sebagai sumber hukum agama Islam, serta digunakan dalam upacara-upacara ritual peribadatan, seperti shalat, berdoa, haji, dan upacara ritual lainnya. Sebagai bahasa sumber hukum agama Islam dan bahasa upacara ritual peribadatan, setiap muslim wajib hukumnya memahami semua aturan dan konsep-konsep dasar yang tercantum di dalamnya, dan juga semua uacapan-ucapan, doa, dan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam melakukan peribadatan atau upacara ritual supaya memahami betul apa yang telah dilakukan sehingga dapat mencapai tingkatan khusuk. Untuk bisa memahami kedua sumber hukum dan ungkapan-ungkapan tersebut maka syarat utamanya ialah memahami bahasanya, yaitu bahasa Arab. Dalam pondok pesantren, bahasa Arab sering disebut sebagai ilmu alat, yaitu alat untuk memahami agama.
Masalahnya, bahasa Arab itu adalah bahasa fleksi yang setiap kosa katanya memiliki makna gramatikal, sedangkan bahasa Melayu bukan bahasa fleksi dan kosa katanya pun bermakna leksikal. Perbedaan inilah yang merupakan salah satu penyebab kesulitan orang Melayu memahami bahasa Arab. Itulah sebabnya, hanya para ulama, cerdik cendekia dan pemimpin agamalah yang mampu memahami bahasa Arab sebagai kunci untuk memahami permasalahan agama, sedangkan umat hanya menerima hasil penerjemahan dan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama, pemimpin, dan tuan guru mereka.
Para ulama dan cerdik pandai tersebut ternyata tidak hanya menerjemahkan dan menafsirkan kitab suci tetapi juga memberikan ilustrasi konsep-konsep agama dengan memberikan cerita, hikayat, dan legenda. Untuk memberikan ilustrasi keadilan dalam kemimpinan misalnya, muncul sebuah teks yang berjudul Hikayat Nabi Pulang ke Rahmatullah. Dalam hikayat tersebut diceritakan bahwa Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin rela dituntut dan diadili jika ada umatnya yang teraniaya karena kebijakan nabi. Teks-teks yang berupa terjemahan, tafsir, dan hikayat inilah yang mendominasi teks Melayu sejak munculnya kesusastraan yang terpengaruh ajaran Islam pada abad keenam belas.
Kebiasaan para ulama, pemimpin masyarakat, dan para imam membaca, menerjemahkan, dan menafsirkan kitab-kitab yang berbahasa Arab disadari atau tidak berpengaruh terhadap setiap karya tulis yang mereka hasilkan. Karya-karya tulis tersebut untuk selanjutnya diturunkan dalam tradisi tulis sehingga menjadi acuan dalam setiap penulisan yang pada akhirnya menjadi konvensi dalam gramatika bahasa melayu. Pengaruh bahasa tersebut terlihat baik pada kosa kata (kata serapan), ungkapan, penggunaan kata sambung, bentuk kalimat doa, dan retorika.
Kosa-kosa kata yang berasal dari bahasa Arab antara lain ialah ahad, akhir, asal, awal, bab, fana, khabar, ilmu, ulama, sedangkan ungkapan yang berasal dari bahasa Arab antara lain bismilahirrahmanirrahim, alkhamdulillah, Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh dan sebagainya. Penggunaan kata sambung “dan” ( وَ ) dalam bahasa Arab adalah selalu muncul di depan rincian sebagai berikut.
Mengapakah maka tuan hamba menangis ?
Maka sabda Rasulullah (2)\ Shallallahu alayhi wa salam kepada jabrail alayhis salam : “Hai\ Jabrail alayhis salam adapun yang akan hamba tangiskan \ ini bukan karena hamba takut akan adzab Allah dan \ bukan karena hamba kasih akan bercerai dengan Abu bakar, \ dan Umar, dan Usman, dan Ali. Dan bukan karena \ Aisyah, dan chatijah, dan Abul Qasim, dan Umi Salamah, \ dan bukan karena kasih akan Hasan dan Husain memiliki dia. \ Dan ada pun yang hamba pulang ke rahmatullah Taala jikalau \ tiada ia membawa iman itulah yang hamba tangiskan \ ini.
Retorika bahasa Arab, menurut Kaplan (1984:53) termasuk dalam pola Semitis. Di samping bahasa Arab pola ini meliputi tradisi Yahudi berikut dengan sub-subbudayanya. Menurutnya pola Semitis menekankan pengembangan suatu gagasan melalui paralelisme, yaitu pembuatan suatu pernyataan dan kemudian diulangi dengan variasi yang menambah atau mencerminkan, atau menyangkal arti aslinya.
“Sebermula segala perkataan kitab ini, yang mahamulya adanya itu, daripada kitab yang mahamulya dan maha besar itu segala kitab itu, masyhurlah dalam segala negeri dan katakan perkataan segala kitab ini segala orang yang berilmu, dan sesuatu daripada segala kitab ini yang mengarangkan dia seorang pendita yang mahamulya, dan mahabesar adanya, yang pada segala negeri masyhurlah namanya, dan pada zaman itu tiadalah samanya. Maka Bukhari, yang amat hina daripada segala kitab mereka itu yang mahamulya, menghimpunkan segala perkataan kitab ini, yang indah-indah upamanya seperti bagai bunga yang dipilih dan dikarang Bukhari yang berahi daripada kebun bunga yang diusahakan mereka itu daripada memeliharakan segala kebun, dan namanya ia sesuatu dengan sesuatu nama itu. Seperti kitab Minhajus Salathin, dan kitab Ahlaq Almuhsinin, dan kitab Sirul Masykuk, dan kitab Akhbarul Muluk, dan kitab Shifatus-salathin, dan kitab Adabul Amri adanya. Demikian lagi beberapa kitab yang bernama dan masyhurlah yang memberi khabar daripada sesuatu kitab itu, Bukhari dalam kitab ini yang namanya Tajus-salathin dan adanya mi’rajus-salathin, yang peliharakan Allah subhanahu wa taala adanya daripada tangan segala orang yang jahil, dan dimasukkan maknanya dalam telinga hati segala orang yang aqal Insya Allah Taala.”
4. Ilmu Sastra
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar teks variabel yang dijadikan objek penelitian filologi adalah berupa teks sastra. Keadaan ini menuntut filolog untuk menguasai ilmu sastra bila ingin mengungkap makna teks yang juga dapat dilanjutkan untuk memahami kebudayaan yang tersirat dalamnya . Oleh karena itu, penguasaan ilmu sastra merupakan syarat dasar yang harus dimiliki oleh seorang filolog.
Ilmu sastra yang diperlukan oleh seorang filolog adalah tergantung dari karakteristik teks sastra dan isi yang ada di dalamnya. Teks sastra yang bergenre prosa menuntut pengetahuan tentang unsur-unsur intrinsik sastra meliputi antara lain alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan sebagainya. Teks sastra yang bergenre puisi menuntut pengetahuan tentang baik itu yang digunakan untuk penelitian objektif, mimetik, reseptif, maupun ekspresif. Di samping itu, pemanfaatan sosiologi sastra juga dapat membantu untuk mengungkapkan digunakan
Sesuai dengan tujuan umum filologi, yaitu memahami budaya bangsa melalui karya sastranya baik tulis maupun lisan maka ilmu sastra secara teknis diperlukan untuk mengungkap budaya melalui karya sastra tersebut. Yang dimaksud ilmu sastra ialah ilmu yang membahas permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan teks sastra baik yang berkaitan dengan unsur yang terdapat dalam teks sastra tersebut maupun unsur-unsur yang berada di luarnya dengan tujuan untuk memahami fenomena sastra. Secara teoretis, ilmu sastra yang digunakan untuk meneliti sastra menurut Abram berobjek pada 1) teks sastra, 2) pengarang sastra, 3) , dan 4) penikmat/pembaca sastra,

5. Ilmu Pengetahuan keagamaan
6. FILSAFAT
Teks (termasuk teks sastra) baik secara langsung maupun tidak langsung memuat bermacam-macam Ilmu pengetahuan, salah satu di antaranya adalah pemikiran atau filsafat. Menurut Welek (1989:134) teks sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Oleh karena itu, untuk mengungkap pemikiran-pemikiran yang ada di dalam teks maka harus digunakan filsafat.
Kata filsafat atau falsafah dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab falsafah yang juga diambil dari bahasa Yunani philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata philia yang konsep maknanya hampir sama dengan kata "persahabatan" dalam bahasa Indonesia dan kata sophia hampir sama dengan "kebijaksanaan". Dengan demikian, secara harafiah arti philosophia adalah "pecinta kebijaksanaan" atau "pecinta ilmu".
Secara definitif, filsafat dijelaskan sebagai berikut.
1. Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala sesuatu yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
2. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
3. Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
4. Filsafat adalah cara berfikir logis, dan mendalam hingga sampai ke dasar persoalan.
5. Berdasarkan objek pemikiran, filsafat terdiri atas beberapa cabang, yaitu metafisika (ontologi), epistemologi, logika, dan estetika. Ada juga yang membaginya menjadi filsafat manusia, alam, dan ilmu pengetahuan.
Filsafat sebagai ilmu bantu filologi digunakan untuk menggali atau memahami pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam teks. Secara praktis, menurut Bertens ada beberapa model berfilsafat.
1. Berfilsafat dengan mengekspresikannya dalam karya sastra. Contoh : Sartre sering mengemukakan pemikiran filsafatnya dalam bentuk novel, drama, dan skenario film.
2. Berfilsafat secara praktis dikaitkan dengan masalah sosial politik.Dalam hal ini, hasil filsafat menjadi konsep negara secara ideologis.Contoh : Karl Marx mengemukakan hasil filosofinya untuk mengubah dunia. Thomas Hobes yang mengemukakan bahwa karena manusia rawan terhadap kekerasan maka diperlukan wadah yang dapat menjamin keamanan individu, yaitu negara.
3. Berfilaafat dengan menggunakan metode tertentu. Descartes menyajikan langkah metodis sebagai berikut.
a. dimulai dari meragukan segala sesuatu yang telah diterima sebagai kebenaran.
b. mengklasifikasikan dan memecahkan persoalan mulai dari yang sederhana kemudian tahap demi tahap ke persoalan yang rumit.
c. memeriksa kembali secara menyeluruh jangan sampai ada masalah yang terabaikan.
4. Berfilsafat dengan menganalisis bahasa atau logosentris. Tujuan utama filsafat dengan model ini adalah untuk memperoleh klarifikasi logis tentang suatu pemikiran.
5. Berfilsafat dengan cara menghidupkan kembali pemikiran filsafat di masa lampau dengan mengkaji teks-teks filosofis para filsuf terdahulu.
6. Berfilsafat tentang masalah etika atau sering disebut juga sebagai praksiologis.
Para ahli filsafat (failasuf) sering memunculkan berbagai istilah teknis filsafati yang mengandung makna khas, seperti : substansi, eksistensi, impresi, dan kategori dalam membahas bidang kajian filsafat. Bidang kajian yang mereka bahas pada dasarnya berupa tiga hal, yaitu metafisika, epistemologi, dan etika.
Metafisika
Metafisika berasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu yang ada dibalik atau di belakang benda-benda fisik.
Metafisika adalah pembahasan masalah eksistensi (keberadaan) yang memiliki sesuatu yang kodrati dan berkarakteristik umum. Dengan demikian, seorang metafisikus cenderung mengarahkan penyelidikannya pada karakteristik eksistensi yang universal seperti kategori. Aristoteles menyebut beberapa istilah yang maknanya setara dengan metafisika, yaitu filsafat pertama (first philosophy), pengetahuan tentang sebab (knowledge of cause), studi tentang ada sebagai ada (the study of being as being), studi tentang hal-hal abadi dan yang tidak dapat digerakkan (the study of the eternal and immovable).
Beberapa peran metafisika dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut.
1. Metafisika mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Metafisika menuntut orsinalitas berpikir yang sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan.
3. Metafisika memberikan bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pada wilayah praanggapan-praanggapan sehingga persoalan yang diajukan memiliki landasan untuk berpijak yang kuat.
4. Metafisika membuka peluang bagi terjadinya perbedaan visi di dalam melihat realitas.
Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani "episteme" yang berarti "pengetahuan" dan "logos" yang berarti "teori". Dengan demikian, epistemologi secara etimologis berarti teori pengetahuan. Istilah-istilah lain yang setara dengan epistemologi adalah sebagai berikut.
1. Kriteriologi, yakni cabang filsafat yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan.
2. Kritik pengetahuan, yaitu pembahasan mengenai pengetahuan secara kritis.
3. Gnosiology, yaitu perbincangan mengenai pengetahuan yang bersifat ilahiah.
4. Logika material, yaitu pembahasan logis dari segi isinya, sedangkan logika formal lebih menekankan pada segi bentuknya.
Objek material epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan.
Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang berarti "nilai" atau "sesuatu yang berharga" dan logos yang berarti "akal" atau "teori". Aksiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai.
Problem utama aksiologi berkaitan dengan empat faktor penting sebagai berikut.
1. Kodrat nilai berupa problem mengenai apakah nilai itu berasal dari keinginan (voluntarisme : Spinoza), kesenangan (hedonisme : epicurus, Bentham, Meinong), kepentingan (perry), preferensi (Martineau), Keinginan rasio murni (Kant), pemahaman mengenai kualitas tersier (Santayana), pengalaman sinoptik kesatuan kepribadian (Personalisme : Green), berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup (Nietze), relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau konsekuensi yang sungguh-sungguah dapat dijangkau (Pragmatisme : Dewey).
2. Jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan antara kriteria nilai intrinsik sebuah fenomena.
3. Kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaliguoleh teori psikologi dan logika. Penganut hedonis menemukan bahwa ukuran nilai terletak pada sejumlah kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang (Aristipus) atau masyarakat (Bentham).
4. Status metafisik nilai mempersoalkan tentang hubungan antara nilai terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu kealaman (Koehler), kenyataan terhadap keharusan (Lotze) pengalaman manusia tantang nilai pada realitas kebebasan manusia (Hegel).

Minggu, 13 April 2008

Penelitian Teks

Penelitian Teks
Secara umum, penelitian teks apakah teks lisan, tulis maupun cetak untuk mencapai tujuannya (sebagaimana yang telah dibahas pada sub-bab yang lalu) hendaknya memperhatikan karakteristik teks masing-masing. Di samping itu, juga perlu memperhatikan 10 tesis yang diajukan Lichacev untuk setiap penelitian sebuah teks dalam filologi. Sepuluh tesis yang diajukan Lichacev adalah sebagai berikut.
1. Penelitian teks berusaha menyelidiki sejarah teks suatu karya. Salah satu penerapan praktis penelitian ini adalah suntingan teks.
Tesis pertama yang ditawarkan Lichacev pada setiap penelitian teks ialah agar peneliti selalu berusaha menyelidiki sejarah teks suatu karya dan salah satu penerapan praktisnya adalah suntingan teks. Menyunting sebuah teks berarti mempersiapkan teks agar layak untuk diterbitkan sehingga dapat dibaca oleh setiap orang serta dapat dipahami maknanya. Untuk memahami makna sebuah teks salah satu instrumen yang digunakan adalah konteks, yaitu segala sesuatu yang menyertai dan berada di sekitar teks yang secara struktural mempunyai kontribusi terhadap keberadaan teks. Konteks tersebut dapat diketahui melalui penelusuran sejarah teks atau penelusuran setiap perubahan atau transformasi teks ketika teks tersebut diturunkan atau disalin. Oleh karena itu, penelitian sejarah teks merupakan bagian yang sangat penting dalam penelitian praktis teks yang berupa suntingan teks.
2. Pertama-tama penelitian teks, baru kemudian penerbitannya.
Tesis kedua yang disarankan oleh Lichacev adalah mendahulukan penelitian teks, kemudian baru dilanjutkan ke penerbitannya. Tesis ini sebenarnya merupakan penegasan tesis pertama. Hanya saja secara prakmatis, meskipun penerbitan dapat dilakukan sebelum melakukan penelitian teks namun seandainya hal tersebut dilakukan maka besar kemungkinannya akan memunculkan beberapa permasalahan, antara lain : suntingan teks tidak sesuai dengan konteksnya, suntingan teks tidak bisa menunjukkan teks salinan yang diwakili, dan munculnya salah tafsir.
3. Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya
Tesis ketiga sebetulnya merupakan hasil dari tesis pertama dan kedua yang indikatornya harus muncul dalam sebuah penerbitan teks. Tesis pertama akan menghasilkan sejarah penurunan teks sedangkan tesis kedua, yaitu melanjutkan tesis pertama dengan cara menerbitkan teks maka dalam tesis ketiga ini memberikan rambu-rambu bahwa hasil temuan yang telah dilakukan pada penelitian sejarah teks harus menjadai pegangan dasar dalam menyunting sebuah teks. Dengan demikian, maka secara otomatis edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.
4. Penelitian teks harus disertai dengan penjelasan.
Pada tesis keempat Lichacev menegaskan bahwa tekstologi atau penelitian teks harus disertai dengan penjelasan. Menurutnya, penelitian teks yang tidak diberi penjelasan dari setiap simpulan yang ditemukan tidaklah dapat dikatakan sebagai penelitian teks. Misalnya, dari tiga naskah yang ditemukan (naskah A, B, dan C) setidaknya dapat ditelusuri hubungan kekerabatan ketiganya, yaitu naskah B merukan naskah yang lebih tua dan diturunkan menjadi naskah A, sedangkan naskah C adalah naskah yang berbeda versi dengan kedua naskah tersebut namun jika dilihat dari gaya bahasa dan retorikanya naskah C tersebut lebih tua dari keduanya. Di samping memberikan penjelasan berdasarkan prinsip-prinsip logika seperti di atas, setiap simpulan juga harus dijelaskan dengan memberikan data-data (kesaksian) temuan yang terdapat dalam setiap naskah sebuah teks. Demikian juga jika simpulan penelitian menunjukkan tidak jelasnya hubungan kekerabatan ketiganya, penjelasan berdasarkan logika maupun data-data yang diambil dari dalam teks.
5. Data-data (kesaksian) perubahan teks yang dilakukan secara sadar (secara ideologis, estetik, psikologik, dan sebagainya harus diberi prioritas atas data perubahan teks yang mekanis (kesalahan yang tidak disengaja oleh penyalin).
Pada tesis kelima Lichacev menyarankan bahwa penelitian terhadap perubahan teks yang secara sadar karena alasan ideologis, estetik, psikologis, dan sebagainya harus diprioritaskan daripada perubahan karena kesalahan mekanis (kesalahan tidak sengaja). Sebagaimana diketahui bahwa adanya perbedaan antara sebuah naskah yang satu dengan naskah yang lain dari teks yang sama adalah disebabkan oleh adanya kesalahan mekanis dan kesengajaan penyalin. Kesalahan-kesalahan yang menyangkut masalah ungkapan yang menyangkut konsep, seperti Ali radliyallahu 'anhu menjadi karamallahu wajhah menunjukkan adanya perubahan idelogi sunni menjadi idelogi syi'ah. Perubahan seperti inilah yang dimaksud sebagai perubahan yang disengaja dan harus diprioritaskan dalam penelitian teks. Karena menyangkut masalah ideologi maka penelusuran terhadap motif perubahan mempunyai makna terhadap penafsiran kebudayaan. Perubahan di atas berbeda dengan perubahan kata "tetapi" menjadi "tapi" atau saut du meme au meme penyalinan meloncat dari kata satu ke kata lain atau dari kalimat satu ke kalimat lain karena adanya perkataan yang sama. Perubahan yang terakhir ini secara fisik mudah ditemukan dan juga sudah dapat diduga faktor penyebabnya yang sebagian besar merupakan kelemahan manusia. Perubahan seperti ini tidak memiliki makna dalam kebudayaan. Meskipun demikian, secara tidak langsung dapat digunakan untuk menelusuri sejarah teks.
6. Teks perlu diteliti secara keseluruhan.
Tesis keenam Lichacev mengingatkan para filolog bahwa teks mempunyai karakteristik yang kompleks. Artinya, di samping di dalam teks berisi berbagai macam hasil kebudayan yang kompleks, di luar teks pun memuat data-data kesaksian yang tidak kalah kompleksnya dengan isi teks baik sebagai artefak, sistem tingkah laku, maupun nilai budaya.
7. Bahan penyerta teks (konvoi, kolofon, dan lain-lain) suatu karya sastra dalam satu kumpulan (kodeks) perlu diteliti.
Tesis ketujuh Lichacev menyarankan supaya bahan penyerta tekstologi (konvoi, kolofon, dan lain2) suatu karya sastra dalam kumpulan kodeks perlu diteliti. Sebagaimana diketahui bahwa bahan penyerta teks adalah salah satu data (kesaksian) yang dapat memberikan petunjuk tentang eksistensi teks. Petunjuk tersebut antara lain meliputi kapan naskah ditulis atau mulai disimpan atau dimiliki, di mana naskah tersebut ditulis atau disimpan, bahkan sering juga dijumpai catatan yang menjelaskan tanggapan pembaca atau pemilik naskah baik mengenai konsep-konsep yang dimuat di dalamnya maupun asal-usul naskah yang dimiliki. Hasil penelitian terhadap semua keterangan tersebut sangat membantu dalam memahami dan meneliti teks secara keseluruhan terutama untuk merekonstruksi teks yang diteliti.
8. Perlu diteliti bayangan sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain.
Pada tesis ke delapan Lichacev menerangkan perlunya peneltian terhadap bayangan sejarah teks sebuah karya sastra dalam monumen sastra lain. Dalam sastra Melayu sering dijumpai sebuah karya sastra atau bagian dari karya sastra disebutkan dalam karya sastra lain dengan tujuan untuk menguatkan cerita atau untuk mengaitkan cerita baru dengan cerita yang telah lebih dahulu ada.
9. Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan skriptoria masing-masing perlu diteliti.
Pekerjaan sang penyalin dan kegiatan skriptoria masing-masing perlu diteliti. Pada tesis ini Lichacev mengingatkan bahwa jika masih bisa ditemukan para penyalin berikut dengan kegiatannya terutama yang berkaitan dengan teks yang sedang diteliti maka para penyalin berikut dengan kegiatnnya tersebut perlu diteliti. Di daerah Wonosobo, dijumpai para santri sebuah pesantren bertindak sebagai penyalin kitab-kitab karya kiainya. Naskah hasil penyalinan tersebut kemudian dijual kepada santri lain. Naskah hasil penyalinan tidak boleh difoto kopi atau diterbitkan dalam bentuk buku cetak.
10. Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan secara faktual.
Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan secara faktual. Tesis ini ditujukan kepada para filolog bahwa teks hasil rekonstruksi tidak bisa dijadikan sebagai naskah variabel dalam penelitian. Teks hasil rekonstruksi merupakan teks hibrid sehingga tidak bisa mewakili salah satu dari naskah sebuah teks.
Prinsip Pelacakan Penurunan Teks
Seorang filolog setelah berhasil menemukan berbagai macam naskah sebuah teks maka tugas selanjutnya ialah mengidentifikasi setiap naskah yang telah diperolehnya tersebut. Dalam pengidentifikasian, filolog harus mencatat setiap teks dengan mendeskripsikan fisiknya (ukurannya, bentuk tulisannya, warna tintanya, bahan naskahnya, dan kondisi fisisk naskahnya), asal-usulnya (misalnya, naskah diperoleh dari Perpustakaan Nasional), nomor katalognya (misalnya, ML 386, Codor 6789, dsb), kemudian setiap naskah diberi indentitas baru sebagai naskah sample / variabel A, B, C, dan seterusnya.
Tugas berikutnya yang harus dilakukan oleh filolog ialah menelusuri hubungan kekerabatan antar naskah variabel yang telah ditemukan. Penelusuran hubungan antar naskah tersebut berdasarkan penurunan teks yang secara teoretis dihipotesiskan sebagai stema, yaitu susunan silsilah naskah yang menjelaskan garis penurunan teks dari penurunan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Garis penurunan diasumsikan bahwa naskah asli atau otograf adalah naskah yang tidak bisa dilacak lagi atau hanya sebagai naskah hipotesis atau naskah yang keberadaannya masih diandaikan dan disebut juga sebagai arketip. Dari arketip ini kemudian diturunkan menjadi naskah hiparketip yang juga masih berupa naskah pengandaian. Untuk menandai naskah pengandaian ini biasanya digunakan nama-nama yang diambil dari abjad Yunani seperti alpha (α) , beta (β), gamma (γ), dan seterusnya. Dari hiparketip tersebut baru diasumsikan bahwa versi alpha didukung oleh naskah A, B, dan C; versi beta didukung oleh Naskah D dan E; sedangkan versi gama didukung oleh naskah F yang diturunkan menjadi naskah G dan H. Garis penurunan stema tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
Untuk melacak penurunan teks sehingga menghasilkan stema atau susunan kekerabatan teks seperti pada teori di atas maka perlu dilakukan langkah2 sebagai berikut.
Pertama, untuk memperoleh perbedaan versi teks maka harus dilakukan pembandingan unsur2 intrinsik teks terhadap seluruh naskah yang ada (ditemukan). Versi ini dihipotesiskan sebagai hip arketip, sedangkan teks asli sebagai arketip. Dalam kasus seperti diagram di atas, Filolog telah menemukan 8 naskah dari sebuah teks dan kemudian diberi identitas sebagai naskah variabel A, B, C, D, E, F, G, dan H. Setelah dilakukan perbandingan unsur-unsur intrinsik teks (alur, latar, tokoh dan penokohan, serta tema) ternyata ada tiga kelompok naskah yang memiliki kesalahan yang sama. Kelompok pertama didukung oleh naskah A, B, dan C; kelompok kedua didukung oleh naskah D dan E; sedangkan kelompok ketiga didukung oleh kelompok F, G, dan H. Kesimpulan tersebut diambil setelah melakukan perbandingan terhadap 8 naskah dari sebuah Teks S dengan hasil sebagaimana di bawah ini.
Setelah memperoleh adanya versi seperti tersebut di atas, penelitian selanjutnya di lakukan untuk memperoleh perbedaan pada tingkat varian.
Kedua, untuk memperoleh perbedaan pada tigkat varian yang terdapat dalam naskah seversi maka dilakukan perbandingan alinea, kalimat, dan kata pada semua naskah seversi. Sebagian besar naskah Melayu hampir seluruh alineanya memiliki perbedaan baik dalam bentuk kalimat maupun diksinya. Sebagai contoh, berikut ini perbedaan alinea pertama pada eksordium Hikayat Nabi Wafat yang terdapat alam empat naskah variabel.
PERBANDINGAN TEKS (ALINEA PERTAMA)
A.
Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.
Sekali peristiwa Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam pergi sembahyang subuh di mesjid.
B.
Wa bihi nasta’in billahi ‘ala ini hikayat ceritera tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
Maka sekali peristiwa Rasulullah sembahyang subuh ke dalam mesjid itu.
C.
Wa bihi nasta’in ‘ala ini hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh.
D
Wa bihi nasta’in ‘ala ini hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh.

Pada tabel di atas terlihat meskipun keempat naskah tersebut adalah seversi (alur, latar, penokohan, dan temanya sama) namun secara kebahasaan ketiganya mengalami banyak perbedaan. Pada awalnya, ungkapan “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini” (naskah variabel A dan B) memiliki varian “Wa bihi nasta’in ‘ala ini” (naskah variabel C dan D). Kemudian “peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.” (naskah variabel A) memiliki varian “hikayat cerita tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” (naskah variabel B), dan “hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” (naskah variabel C dan D).
Varian berikutnya ialah “Sekali peristiwa Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam pergi sembahyang subuh di mesjid.” (Naskah A), “Maka sekali peristiwa Rasulullah Rasulullah sembahyang subuh ke dalam mesjid itu.” (naskah B), dan “Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh.” (naskah C dan D). Untuk lebih jelasnya varian-varian tersebut dapat dibuat tabel sebagai berikut.

Varian
Dalam naskah
Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini
naskah variabel A dan B
Wa bihi nasta’in ‘ala ini
naskah variabel C dan D
peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.
naskah variabel A
hikayat ceritera tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
naskah variabel B,
hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.
naskah variabel C dan D
Sekali peristiwa Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam pergi sembahyang subuh di mesjid.
naskah variabel A
Maka sekali peristiwa Rasulullah sembahyang subuh ke dalam mesjid itu.
naskah variabel B
Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh.
naskah variabel C dan D

Dari tabel di atas meskipun keempat naskah variabel tersebut diperkirakan seversi namun keempatnya secara paradigmatis memiliki persamaan yang membedakan di antara keempatnya. Berdasarkan data tabel dapat dibuat kekerabatan antar naskah sebagai berikut.
Ketiga, untuk mengetahui teks turunan dan teks yang diturunkan maka dilakukan perbandingan varian dan mencari umur naskah. Hasil perbandingan harus menunjukkan mana varian yang benar dan mana varian yang salah. Varian yang benar menunjukkan berasal dari naskah yang disalin, sedangkan varian yang salah menunjukkan adanya dugaan berasal dari naskah salinan Dalam kasus teks Hikayat Nabi Wafat di atas jika di buat dalam tabel maka akan terlihat varian yang benar dan yang salah serta data pendukungnya sebagai berikut.
Jika dibandingkan keempat teks di atas terlihat ada ungkapan “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini” (naskah variabel A dan B) dan ungkapan “Wa bihi nasta’in ‘ala ini” (naskah variabel C dan D). Secara struktural, ungkapan yang benar adalah “Wa bihi nasta’in ‘ala ini”. Ungkapan seperti ini sering digunakan dalam mukadimah khutbah wa bihi nasta’in ‘ala umurid dunya wad din. Artinya, “Dan dengan-Nya kami mohon pertolongan atas urusan dunia dan agama“. Diduga penulis naskah (A & B) melakukan overlaping dengan memberikan kata billahi setelah kata nasta’in. Padahal, kata tersebut tidaklah perlu diberikan jika telah ada kata bihi. Dengan demikian, penggunaan ungkapan yang benar adalah “Wa bihi nasta’in ‘ala” atau Wa nasta’in billah ‘ala.
Kata “peri” berarti “hal”¸ ”sifat”, “keadaan”. Dengan demikian, “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini peri hikayat nabiyullah” (naskah variabel A) berarti “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini hal atau keadaan hikayat nabiyullah”. Kata “peri” tersebut sifatnya adalah manasuka, artinya bisa diberi kata tersebut atau bisa juga tidak.
Berikutnya marilah kita perhatikan kalimat “Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.” (Naskah variabel A) dan kalimat “Wa bihi nasta’in billahi ‘ala ini hikayat ceritera tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” (naskah variabel B). Pada naskah variabel A, pola kalimatnya adalah Ket S P O (S P O .Ket. ) sedangkan pada naskah variabel B berpola Ket SPO K, S. Secara struktural, Kalimat pada naskah variabel A lebih linear dibanding dengan variabel B yang terlihat sebagai kalimat yan berputar, berulang ulang, dan tidak lengkap (tanpa predikat). Kalimat pada naskah variabel C dan D yang berbunyi “hikayat daripada menceritakan lagi ketika Rasulullah pulang ka rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” di samping keduanya memiliki kesamaan baik pada penulisan maupun pada kesalahannya. Dibandingkan dengan kalimat yang terdapat pada Naskah A dan B, kesalahan yang paling mencolok pada naskah C dan D ialah penggunaan sebutan “shallallahu ‘alayhi wa salam” yang seharusnya diberikan kepada Rasulullah diberikan kepada “rahmatullah”, sedangkan Rasulullah tidak diberi sebutan.
Wa bihi nasta’in ‘ala ini (C & D)
Wa bihi nasta’in billah ‘ala ini (A & B)
rahmatullah taala (A & B)
rahmatullah sallallahu ‘alayhi wa salam (C & D)
peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.
hikayat ceritera tatkala nabi pulang ke rahmatullah taala, dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam. (naskah B)

Sekali peristiwa Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam pergi sembahyang subuh di mesjid.(naskah variabel A).
Maka sekali peristiwa Rasulullah sembahyang subuh ke dalam mesjid itu. (naskah B)
Syahdan maka sekalian kaum Rasulullah itu sekaliannya berangkat karena mengiringkan Rasulullah ke mesjid karena hendak sembahyang subuh. (naskah variabel C dan D).

Berdasarkan analisis dan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa naskah A sekerabat dengan naskah B, sedangkan naskah C sekerabat dengan naskah D. Meskipun sekerabat, kesalahan naskah B dalam kalimat yang tidak berpredikat “dan peri menyatakan tatkala Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam.” dibetulkan dalam naskah A menjadi “peri hikayat nabiyullah menyatakan Baginda Rasulullah sallallahu ‘alayhi wa salam akan berpulang ke rahmatullah taala.” sedangkan kesalahan lain “sembahyang subuh ke dalam mesjid itu”, tampaknya dibetulkan naskah A menjadi “pergi sembahyang subuh di mesjid”.
Naskah C dan D merupakan naskah yang diturunkan dari naskah A dan B. kesimpulan tersebut dapat dibuat diagram sebagai berikut.
Di samping teks di atas, dalam keempat naskah tersebut yang paling menarik dan mungkin dapat dijadikan dasar penentuan kekerabatan adalah ditemukannya varian dalam menyalin teks Al-Qur’an Azzumar 30 - 31. Setiap naskah berbeda dengan naskah yang lain, dan yang menarik juga berbeda dengan teks asalnya, yaitu Al-Qur’an Azzumar 30 – 31.
NASK AH
PERBANDINGAN TEKS YANG BERASAL DARI AL-QUR’AN
Al-QUR’AN Azzumar 30-31
Innaka mayyitun wa innahum mayyitun, tsumma innakum yaumal qiyamati ‘inda rabbikum takhtashimun.
A.
Innaka mayyitun tsumma ilaykum yaumal qiyamati takhtashimun.
B.
Innaka mayyitun wa innahum mayyitun yaumal qiyamati takhtashimun.
C.
Innaka mayyitun tsumma innakum yaumal qiyamati takhtashimun.
D.
Innaka mayyitun tsumma innaka yaumal qiyamati takhtashimun.
Berdasarkan keempat teks tersebut dapat dianalisis dengan menggunakan dugaan adanya kesalahan penyalinan, dengan asumsi semakin banyak kesalahan penyalinan semakin jauh pula teks tersebut dari turunan teks aslinya. Di samping itu, juga tetap menggunakan kriteria kesalahan mekanis yang meliputi adanya beberapa bagian yang ditanggalkan (lakuna), huruf yang hilang (haplografi), penyalinan maju dari perkataan ke perkataan yang sama (saut du même au même) suatu kata, suatu bagian kalimat, beberapa baris, atau satu bait terlampui, atau sebaliknya ditulis dua kali (ditografi), atau ada tambahan (interpolasi) dan kesalahan disengaja dari penyalinan.
Dari hasil analisis kesalahan seperti yang terdapat pada tabel di atas naskah B dan C memiliki jumlah kesalahan yang sama meskipun kualitas kesalahannya berbeda. Jumlah kesalahan tiap kedua naskah tersebut jika dibandingkan dengan naskah A dan D yang berjumlah sama-sama 4 menunjukkan lebih sedikit. Artinya, naskah B dan C lebih dekat kepada teks aslinya atau memiliki keturunan yang lebih dekat dengan teks aslinya, sedangkan naskah A dan D mempunyai keturunan lebih jauh dari teks aslinya.
Naskah B dan C meskipun jumlah kesalahannya sama namun jika dilihat dari segi kualitasnya ternyata berbeda. Kesalahan naskah B secara tekstual struktural terdapat pada Alqur’an :31, yaitu “tsumma innakum yaumal qiyamati ‘inda rabbikum takhtashimun” menjadi “yaumal qiyamati takhtashimun”, kesalahan tersebut nampaknya merupakan kesalahan teknis, yaitu terlangkahinya “tsumma innakum” dan “‘inda rabbikum”. Pada ayat sebelumnya, yaitu Al-Qur’an 30 terlihat teks naskah B sesuai dengan teks aslinya dalam Al-Qur’an, yaitu “Innaka mayyitun wa innahum mayyitun”. Hal ini berbeda dengan naskah C, yang kesalahannya ada pada kedua ayat tersebut. Kesalahan pertama terdapat pada penyalinan Al-Qur’an 30, yaitu “Innaka mayyitun wa innahum mayyitun” menjadi “Innaka Mayyitun” dan Al-Qur’an 31 “tsumma innakum yaumal qiyamati ‘inda rabbikum takhtashimun” menjadi “tsumma innakum yaumal qiyamati takhtashimun”. Dalam hal ini tampaknya terjadi lakuna “wa innahum mayyitun” dan lakuna “inda rabbikum”.
Dilihat dari segi maknanya, Perbedaan antara Al-Qur’an 30-31 dengan naskah B, yaitu “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula. Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhanmu.” menjadi “Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati pula pada hari kiamat akan berbantah-bantahan.” Teks Alquran yang terlangkahi (lakuna) pada naskah B ialah “Kemudian sesungguhnya kamu” dan “di hadapan Tuhanmu.” Pada naskah C teks yang terlangkahi adalah “sesungguhnya mereka akan mati pula” dan “di hadapan Tuhanmu”.
Dari analisis data kesalahan di atas dapat digunakan untuk memperbaiki kesimpulan sementara analisis kesalahan sebelumnya sehingga menjadi naskah B diturunkan menjadi naskah A kemudian diturunkan menjadi naskah C dan diturunkan lagi menjadi naskah D.
Analisis Literer
Dalam penelitian filologi, data-data yang dijadikan perbandingan biasanya berupa kosa-kata, kalimat, atau alinea. Untuk memaknai data-data tersebut diperlukan konteks data, yaitu segala sesuatu yang menyertai atau yang berada di sekitar data. Konteks data tersebut dapat dihadirkan melalui unsur-unsur intrinsik karya sastra baik karya tersebut ber-genre prosa, puisi, maupun drama.
Cara memaknai data seperti di atas disebut analisis literer. Secara definitif, analisis literer adalah sebuah analisis dengan cara mengurai bagian-bagian data dengan menggunakan kategori unsur-unsur intrinsik karya sastra kemudian melihat hubungan fungsional antar unsur-unsur tersebut untuk memperoleh pengertian data yang tepat dan pemahaman makna data secara keseluruhan. Secara teoretis unsur intrinsik karya sastra ini, untuk fiksi bisa berupa alur, latar, penokohan, dan tema, sedangkan untuk puisi bisa berupa diksi, pengimajian, bahasa figuratif, verivikasi, dan tatawajah di samping unsur tema, perasaan, nada dan suasana.
Sebagai contoh, data kesalahan penyalinan Al-Qur’an 30-31 di atas adalah merupakan data yang semata-mata untuk menunjukkan adanya kesalahan penyalinan. Tetapi untuk mengungkap apakah kesalahan tersebut merupakan kesalahan mekanis atau kesalahan yang disengaja maka perlu dilakukan penelusuran secara struktural fungsional data tersebut terhadap teks secara keseluruhan untuk itulah dilakukan analisis literer sebagai berikut.
Data Al-Qur’an tersebut dalam teks hikayat Nabi Pulang ke rahmatullah disampaikan oleh malaikat Jibril bersama malaikatul maut (Izrail) kepada Nabi Muhammad saw untuk membangun alur cerita berikutnya, yaitu permintaan Rasulullah kepada umat Islam untuk menagih atau menuntutnya jika ia memiliki utang atau perkara yang harus diadili. Hal ini dilakukan Rasulullah sebab beliau tidak ingin berbantah-bantahan dengan kaumnya di hadapan Allah kelak di hari kiamat. Dengan demikian, jika dalam teks naskah A, B, C, dan D yang keempat-empatnya masih memiliki kata kunci “mati”, “hari kiamat” dan “berbantah-bantahan maka dapat dipastikan kesalahan yang terjadi adalah kesalahan mekanis (tidak disengaja) sebab masih sesuai dengan alur cerita berikutnya. Tetapi sebaliknya jika ketiga kata kunci tersebut tidak dikembangkan dalam peristiwa pada alur berikutnya maka kesalahan yang terjadi tersebut adalah kesalahan yang disengaja sehingga harus dijelaskan untuk kepentingan apa perubahan tersebut dibuat.