Rabu, 16 April 2008

Ilmi Bantu Filologi

Ilmu Bantu Filologi
Untuk mencapai tujuan filologi seperti yang telah dibahas di atas, seorang filolog harus mampu memahami fenomena-fenomena yang muncul sehubungan dengan munculnya sebuah teks. Secara fenomenologis, setiap teks memiliki tiga karakter khas sebagai berikut. Pertama, teks selalu menggunakan bahasa sebagai media untuk menyimpan dan mengkomunikasikan isi teks. Kedua, kandungan teks sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu menyimpan berbagai macam ilmu pengetahuan. Ketiga, teks sebagai artefak juga memperoleh perlakuan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat pemiliknya. Ketiga karakteristik teks tersebut menuntut para filolog untuk memiliki ilmu bantu yang berpangkal dari ketiga karakteristik tersebut agar dapat digunakan untuk mengungkap nilai-nilai budaya yang terdapat dalam teks.
Karakter teks pertama, yaitu teks selalu menggunakan bahasa sebagai media untuk menyimpan dan mengkomunikasikan isi teks menuntut adanya kemampuan untuk mengenal paleografi, ilmu bahasa (linguistik), berikut dengan beberapa cabangnya seperti etimologi, etnolinguistik, sosiolinguistik, stilistik, dan pengetahuan bahasa teks (Melayu, Jawa, Sunda, Bali, dan sebagainya) serta bahasa yang mempengaruhi bahasa teks Nusantara, yaitu Arab dan Sansekerta. Ilmu kebahasaan tersebut merupakan modal dasar untuk merebut makna teks secara formal. Di samping itu, pengetahuan kebahasaan juga membantu filolog untuk menjelaskan atau mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat dalam teks pada tataran formal tekstual.
Karakter teks yang kedua, yaitu teks menyimpan berbagai macam ilmu pengetahuan menuntut filolog untuk mengungkapkan lebih jauh makna teks setelah menjelaskan teks secara formal tekstual berdasarkan ilmu kebahasaan. Sesuai dengan kandungan teks (sebagaimana yang dijelaskan pada bab terdahulu) yang meliputi masalah ilmu sastra & karya sastra, keagamaan, filsafat, ilmu hukum, sejarah, sampai masalah kebudayaan, para filolog dituntut untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat mengungkapkan dan menjelaskan ilmu-ilmu yang terkadung dalam teks tersebut. Ilmu-ilmu pengetahuan tersebut ialah ilmu pengetahuan agama (Islam, Hindu, dan Budha), ilmu sastra berikut dengan cabang-cabangnya, ilmu hukum adat, sejarah, dan kebudayaan.
Karakteristik ketiga, yaitu teks sebagai artefak dan juga memperoleh perlakuan tertentu yang dilakukan oleh masyarakat pemiliknya menuntut seorang filolog untuk memanfaatkan ilmu kebudayaan. Dengan ilmu pengetahuan kebudayaan (anthropologi dan folklor), para filolog diharapkan dapat mengungkapkan rahasia mengapa suatu masyarakat memperlakukan sebuah teks dengan suatu perlakuan tertentu. Misalnya, untuk membuka sebuah naskah yang dimiliki oleh suku Kerinci di Jambi masyarakat sebelumnya harus mengadakan suatu upacara ritual dan pesta rakyat. Di Jawa, untuk menurunkan (menyalin) sebuah teks tertentu seseorang diharuskan mengikuti upacara ritual tertentu seperti harus puasa menjalankan laku perihatin.
Secara rinci ilmu bantu yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkapkan nilai-nilai budaya yang terdapat di dalam teks adalah sebagai berikut.


1. Paleografi
Paleografi adalah ilmu yang mempelajari bermacam-macam tulisan (huruf ) kuna (Soelastin-Soetrisno dalam Baroroh Baried, 1983:97). Menurut (Niermeyer, 1974:47) paleografi mempuyai tujuan utama menjabarkan tulisan kuna karena beberapa tulisan kuna sangat sulit dibaca. Di samping itu, juga bertujuan menempatkan berbagai peninggalan tertulis dalam rangka perkembangan umum sebuah tulisan sehingga dapat ditentukan waktu dan tempat setiap bentuk tulisan dari aksara yang digunakan. Semula paleografi digunakan untuk membaca tulisan kuna yang terdapat dalam prasasti, namun pada saat sekarang juga digunakan untuk membaca tulisan kuna yang ada dalam naskah.
Aksara yang digunakan dalam Prasasti
Brahmi (100 – 400 M)
Pengenalan aksara, dalam arti telah ditemukan artefak yang bertuliskan aksara, paling dini di wilayah Indonesia adalah dengan ditemukannya aksara Brahmi yang terdapat pada pecahan gerabah di Bali yang dipastikan berasal dari kurun waktu antara 150 M dan 200 M. Tulisan ini digunakan di India tenggara pada periode 100 – 400 M. Menurut Hunter (via Kumar, 1996:xv) adanya penemuan gerabah tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi jaringan dagang internasional yang luas dari cina ke Timur Tengah melalui India dan Asia Tengara yang keberadaannya sudah berkembang sejak milenium pertama Masehi. Menurut Coulmas (1989:182) dari aksara Brahmi inilah sistem aksara di Indonesia dapat dirunut.
Palawa
Aksara ini digunakan untuk menuliskan bahasa Sansekerta di kerajaan Palawa di India Selatan. Menurut J.G. Casparis (melalui Soelastin Soetrisno, :98) di luar kerajaan Palawa, tulisan ini digunakan di Asia Tenggara yang termasuk daerah pengaruhnya, yaitu mulai dari Vietnam Selatan, Kamboja, Muangthai Selatan, semenanjung Malaya, dan wilayah Nusantara. Menurutnya, Aksara Palawa ini ada dua macam, yaitu Palawa Awal dan Palawa Lanjut.
Palawa Awal (300 M – 500 M)
Aksara ini ditemukan pada prasasti Kutai (Yupa) di Kalimantan Timur. Sebuah prasasti yang berisi persembahan raja yang ditujukan kepada para agamawan. Menurut J.P. Vogel (Sedyawati, 2004:16) tulisan ini memiliki hubungan dengan tulisan pada inskripsi di Vietnam dan Sri Langka serta dengan prasasti yang diterbitkan oleh dinasti Palawa di India Selatan. Dari tipe tulisannya yang menunjukkan hubungan antardaerah tersebut, prasasti Kutai (Yupa) oleh Vogel penanggalannya diperkirakan sekitar 400 M. Hal ini bertalian erat dengan prasasti di Ciaruteun yang diperkirakan penanggalannya pada 450 M. Dengan demikian, tulisan Palawa awal digunakan pada sekitar tahun 300 M – 500 M
Palawa Akhir (700 – 800 M)
Aksara ini merupakan suatu sistem tulisan yang dipakai dalam prasasti Sriwijaya, seperti prasasti Telaga Batu, Kedukan Bukit Talang Tuwo, Palembang, Kota Kapur, dan Karang Brahi yang sebagian besar di tulis pada sekitar abad ketujuh. Dalam catatan musafir Cina I Ching diceritakan bahwa ia singgah di Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sansekerta dalam perjalanan ke India, tempat ia akan menekuni teks-teks agama Buddha. Dalam akhir abad kedelapan Sriwijaya dikenal karena perkembangan ilmu agama Buddha, tetapi sebelum itu rupanya sudah menjadi tempat menimba ilmu. Dapat diperkirakan bahwa pada saat itu penggunaan bahasa Melayu dengan sentuhan bahasa Sansekerta (terutama pada kegiatan tulis menulis) telah mengalami kemajuan dengan didapatinya penggunaan tulisan dengan huruf Palawa akhir yang suratannya canggih.
Kawi (900 – 1700 M)
Aksara Palawa yang digunakan pada abad ketujuh dan delapan Masehi telah mengalami perubahan sejak memasuki abad kesembilan sehingga berbeda dengan aksara yang digunakan di India. Aksara baru tersebut dinamakan aksara “Kawi” dan digunakan selama sekitar 800 tahun di hampir seluruh kawasan Nusantara termasuk Melayu. Aksara Hanacaraka di Jawa dan Bali diturunkan secara langsung dari aksara Kawi.
Aksara yang digunakan dalam naskah
1. Aksara Arab / Aksara Jawi (1400 – Sekarang)
Aksara Arab digunakan dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan lafal bahasa Melayu. Lafal c, g, p, dan ng ditulis dengan memodifikasi huruf (ج ) yang diberi titik tiga di bawahnya untuk lafal “c“, huruf ( ك ) yang diberi titik tiga di bawahnya untuk lafal “g“, huruf (ف ) yang diberi titik tiga di atasnya untuk lafal “p”, sedangkan huruf ( ع ) yang dibveri titik tiga di atasnya untuk lafal “ng”. Meskipun sebagian besar menggunakan akasara Arab namun orang Melayu lebih senang menggunakan aksara hasil modifikasi ini dengan menyebutnya akasara Jawi.
Aksara Jawi ini digunakan untuk menuliskan hampir semua naskah Melayu, baik yang berasal dari wilayah Nusantara (Indonesia) maupun Malaysia. Penggunaan aksara dengan modifikasi seperti di atas juga didapati di berbagai pesantren di Jawa untuk kepentingan penulisan makna dan tafsir Al-Qur’an, hadis, dan buku-buku yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa dan dinamakan sebagai huruf “pegon”. Besar kemungkinannya modifikasi huruf Arab tersebut telah digunakan lebih dahulu di kalangan pesantren di Jawa kemudian baru digunakan untuk menuliskan teks Melayu. Itulah sebabnya orang Melayu menamakan aksara tersebut sebagai aksara Jawi.
Aksara Latin (1800 – sekarang)
Aksara Latin digunakan untuk menuliskan naskah-naskah Melayu yang telah ditransliterasikan atau naskah-naskah Melayu yang diterbitkan oleh penerbit yang bertujuan untuk memperkenalkan teks Melayu kepada Masyarakat umum (selain Melayu). Di samping itu, juga digunakan untuk menerbitkan surat kabar dan tidak jarang di dalam surat kabar tersebut juga terdapat teks cerita, hikayat, dan pantun. Untuk kepentingan penelitian filologi, sebaiknya menggunakan teks yang bertuliskan aksara Arab atau aksara Jawi tulisan tangan sebab naskah demikian merupakan data primer, sedangkan teks yang ditulisa dalam huruf Latin biasanya berupa hasil penelitian para orientalis yang kemudian diterbitkan dalam bentuk cetakan sehingga merupakan data sekunder.
2. Linguistik
Etimologi
Etimologi adalah ilmu yang menyelidik mengenai asal-usul kata serta perubahan-perubahannnya. Ilmu ini diharapkan dapat mengungkap sejarah kosa-kosa kata dengan melakukan penelitian penggunaan kata dari waktu ke waktu secara diakronis. Hasil penggunaan konsep kata dari penelitian tersebut secara sinkronis dapat ditentukan masa penulisan teks.
Kata “penengaran” misalnya, adalah bentuk arkaik dari kata “pendengaran”. Kata tersebut digunakan pada abad keenam belas sampai pada abad kedelapan belas Masehi. Dengan demikian, dapat ditentukan bahwa teks yang menggunakan kata tersebut setidak-tidaknya ditulis paling akhir pada abad ke delapan belas.
Di samping itu, penelitian secara etimologis juga dapat digunakan untuk memahami perubahan konsep makna bahasa sebagai salah satu unsur kebudayaan yang secara kultural dan struktural terkait dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya. Kata “ulama” misalnya, kata ini pada abad keenam belas digunakan dengan konsep makna “cerdik pandai”, sedangkan pada abad kesembilan belas telah digunakan dengan konsep makna “ahli dalam bidang agama”. Penggunaan konsep makna pertama justru muncul dalam masyarakat yang mayoritas agamanya adalah Islam atau masyarakat yang kebudayaannya diwarnai oleh sistem religi berdasarkan agama Islam, sedangkan penggunaan konsep makna yang kedua muncul pada masyarakat yang sekuler yang mencoba memisahkan antara kehidupan beragama dengan kebudayan profan.
Etnolinguistik
Dalam kamus linguistik (Kridalaksana, 1983:42) dinyatakan bahwa etnolinguistik ialah cabang lingusitik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mempunyai tulisan; atau cabang liguistik yang menyelidiki hubungan bahasa dan sikap bahasawan terhadap bahasa. Ilmu ini sangat berguna untuk penelitian teks lisan baik yang bergenre mite, legenda, dan dongeng. Di samping itu juga sangat berguna untuk menentukan varian bahasa Melayu rendah.
Sosiolinguitik
Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial. Dalam bahasa Melayu, penyebutan orang pertama biasanya digunakan kata “hamba”, “patik”, “saya”, sedangkan kata “aku” biasanya subjeknya adalah orang yang memiliki status sosial tinggi.
Stilistik
Secara umum, stilistik adalah ilmu yang membicarakan tentang gaya yang digunakan oleh pengarang dalan karya tulisnya. Dengan berbekal stilistik seorang filolog secara sinkronik dapat memahami dan menjelaskan dari struktur kelas mana pengarang teks berasal, pembaca yang bagaimana yang diharapakan teks, dan pada masa kapan teks tersebut di produksi. Di samping itu, juga dapat dilacak secara diakronik perbedaan penerbitan teks dari masa ke masa. Penelusuran secara sinkronik, terhadap gaya bahasa teks dpt membantu filolog dlm pencaharian teks asli atau mendekati teks aslinya dan dalam penentuan usia teks.
Berikut ini beberapa teks yang mencerminkan masa penerbitan teks.
Teks Hikayat Rama ( abad keenam belas )
“Setelah sampailah ke negeri Indera Puri Negara maka hulubalang kedua itupun masuk mengadap raja Syaksya. Tatkala itu Raja Syaksya lagi semayam dihadap segala rakyat yang tiada tepermanai. Maka hulubalang kedua itu pun sujud menyembah Raja Syaksya lalu ke tanah kepalanya. Maka ia berlutut menyembah raja dan bersembahkan segala hal ihwal kelakuan raja itu. Setelah raja menengar kabar itu raja pun amarah lalu bertitah : “ Jika aku tiada menyerang negeri Biru Hasya Purwa bukan aku laki-laki dan bukan aku anak Berma Raja.” Maka bertitah pada Sardal dan Kamdakata, “Hai saudaraku kedua duduklah tuan hamba menunggu negeri ini, hamba pergi menyerang negeri Biru Hasya Purwa.””
Teks Tajus-Salathin (abad ketujuh belas )
“Maka Raja itu pun tunduk menengar katanya itu. Maka segala orang daripada segala pihak itu tercenganglah padanya. Dan dalam hal itu fakir pada telinga raja berkata, “Akulah malakul-maut datang mengambil nyawamu sekarang ini.”
Adapun apabila raja menengar katanya itu, takutlah ia sangat. Maka terbitlah daripada segala anggotanya peluh seperti air dari pancuran, dan bergerak segala tubuhnya seperti pohon kayu daripada angin. Dan katalah ia, “Hai malakul-maut, dapatkah engkau nanti sehingga aku ke rumahku dan berpesan akan anak istriku , dan kusukakan hati segala orang yang dipersakiti daripada aku.””
Teks Tuhfatun-Nafsi (abad kesembilan belas)
“Alkisah maka tersebutlah pula sultan Abdul Jalil di dalam johor. Maka apabila sudah opu-opu itu keluar maka banyaklah fitnah di dalam johor kerana seolah-olah negeri Johor itu berraja dua. Ada yang epada Raja Kecik, ada yang kepihak Sultan Abdul Jalil. Mangkin menyalalah fitnah daripada sehari kepada sehari, mangkin banyak fitnah mangkin besar, upama api mangkin besar nyalanya akhir-akhir tiada boleh dipadamkan lagi. Syahadan melarat api itu mengatakan Raja Kecik itu tiada tentu amat putera Marhum Mangkat Dijulang, sebab tiga kaul yang lalu itu bersalahan. Maka sampailah khabar itu kepada Raja Kecik maka marahlah ia, akan etapi masih disabarkan lagi.”
Teks Katjilaka’an (abad kesembilan belas bahasa Melayu Rendah / Melayu Cina)
“Itoe pasoekan barisan sinapan di Banjoebiroe banjaknja doewa Compagnie telah berbaris sampai di post Djamboe, setelah sampe di pinggir kampoeng marika itu berdjoempah sa’ekor kerbo jang baroe sadja telepas dari iketannja. Ini binatang memang doeloenja di iket di satoe poehoen, dari kaget lihat soldadoe soldadoe lantas paksa belari sampe talinja poetoes dan belari ngawoer di mana ada orang salagi enak berdjalan, sakoenjoeng di troeboek kerbo tadi.
Sebab dengan kaget maka satengah berlari masoek di bebrapa kolam-kolam jang penoeh aer, dan jang lari meninggalkan sinapannja, sebab di rasa pertjoema kaloe sabinatang begitoe besar mahoe di angen (di lawan). Ada tiga orang jang soeda toenjoek braninja mahoe lawan binatang itoe, tetapi pertjoema, kerbo angkat laloe di lempar dan di boewang ka pinggir djalan, kabetoelan di sawah, pakain dan badannja (si bertjilaka) masoek di loempoer, dan jang lain poela sebab koewatnja kerbo lantas katinggalan di badan. Rioehnja boekan boewatan, takoet dan soesah serta tjapik soeda hilang, sebab jang ditoebroek soeda tiada dikenali lagi, soeda di boengkoes loempoer separo ketawa terpingkel pingkel, setengahnja tiada bisa omong sebab badan terlaloe sakit.
Oentoeng sekali tiada kabar kematian.
3. Bahasa yang mempengaruhi teks
Bahasa Sansekerta
Bahasa Sansekerta adalah bahasa yang digunakan oleh bangsa-bangsa yang tinggal di wilayah India dan telah digunakan secara tekstual setidak-tidaknya sejak abad keempat Masehi. Fenomena tersebut didasarkan atas ditemukannya prasasti berbahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Palawa. Aksara ini digunakan oleh raja-raja dinasti Palawa di India Selatan. Bahasa ini juga digunakan dalam teks Hindu yang tersebar luas di wilayah Asia, Asia Timur, dan Asia tenggara.
Meskipun demikian, dewasa ini bahasa tersebut sudah tidak digunakan lagi atau sebagai bahasa mati. Oleh karen itu, bahasa ini hanya bisa dipelajari melalui teks-teks klasik. Dengan demikian, teks klasik di samping harus diketahui isinya dengan menggunakan bahasa Sansekerta sekaligus juga memberikan bahan pelajaran bahasa Sansekerta bagi kita.
Pengaruh bahasa ini sangat terasa terutama pada karya-karya sastra Jawa Kuna. Tidak hanya berupa penyerapan kosa kata dan frasa melainkan juga kutipan-kutipan yang disalin begitu saja tanpa diikuti terjemahan. Pengaruh seperti ini terlihat pada kakawin Ramayana, Utarakanda, dan Sang Hyang Kamahayanikan.
Terhadap teks baik yang berbahasa Jawa tengahan, bahasa Jawa Baru, bahasa Melayu, dan bahasa daerah lainnya hanya terlihat pada kata serapan baik yang berupa kosa kata maupun frase. Kata “pujangga”, “suwarga”, “puasa” adalah merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta.
Bahasa Arab
Bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw sebagai sumber hukum agama Islam, serta digunakan dalam upacara-upacara ritual peribadatan, seperti shalat, berdoa, haji, dan upacara ritual lainnya. Sebagai bahasa sumber hukum agama Islam dan bahasa upacara ritual peribadatan, setiap muslim wajib hukumnya memahami semua aturan dan konsep-konsep dasar yang tercantum di dalamnya, dan juga semua uacapan-ucapan, doa, dan ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam melakukan peribadatan atau upacara ritual supaya memahami betul apa yang telah dilakukan sehingga dapat mencapai tingkatan khusuk. Untuk bisa memahami kedua sumber hukum dan ungkapan-ungkapan tersebut maka syarat utamanya ialah memahami bahasanya, yaitu bahasa Arab. Dalam pondok pesantren, bahasa Arab sering disebut sebagai ilmu alat, yaitu alat untuk memahami agama.
Masalahnya, bahasa Arab itu adalah bahasa fleksi yang setiap kosa katanya memiliki makna gramatikal, sedangkan bahasa Melayu bukan bahasa fleksi dan kosa katanya pun bermakna leksikal. Perbedaan inilah yang merupakan salah satu penyebab kesulitan orang Melayu memahami bahasa Arab. Itulah sebabnya, hanya para ulama, cerdik cendekia dan pemimpin agamalah yang mampu memahami bahasa Arab sebagai kunci untuk memahami permasalahan agama, sedangkan umat hanya menerima hasil penerjemahan dan penafsiran yang dilakukan oleh para ulama, pemimpin, dan tuan guru mereka.
Para ulama dan cerdik pandai tersebut ternyata tidak hanya menerjemahkan dan menafsirkan kitab suci tetapi juga memberikan ilustrasi konsep-konsep agama dengan memberikan cerita, hikayat, dan legenda. Untuk memberikan ilustrasi keadilan dalam kemimpinan misalnya, muncul sebuah teks yang berjudul Hikayat Nabi Pulang ke Rahmatullah. Dalam hikayat tersebut diceritakan bahwa Nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin rela dituntut dan diadili jika ada umatnya yang teraniaya karena kebijakan nabi. Teks-teks yang berupa terjemahan, tafsir, dan hikayat inilah yang mendominasi teks Melayu sejak munculnya kesusastraan yang terpengaruh ajaran Islam pada abad keenam belas.
Kebiasaan para ulama, pemimpin masyarakat, dan para imam membaca, menerjemahkan, dan menafsirkan kitab-kitab yang berbahasa Arab disadari atau tidak berpengaruh terhadap setiap karya tulis yang mereka hasilkan. Karya-karya tulis tersebut untuk selanjutnya diturunkan dalam tradisi tulis sehingga menjadi acuan dalam setiap penulisan yang pada akhirnya menjadi konvensi dalam gramatika bahasa melayu. Pengaruh bahasa tersebut terlihat baik pada kosa kata (kata serapan), ungkapan, penggunaan kata sambung, bentuk kalimat doa, dan retorika.
Kosa-kosa kata yang berasal dari bahasa Arab antara lain ialah ahad, akhir, asal, awal, bab, fana, khabar, ilmu, ulama, sedangkan ungkapan yang berasal dari bahasa Arab antara lain bismilahirrahmanirrahim, alkhamdulillah, Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh dan sebagainya. Penggunaan kata sambung “dan” ( وَ ) dalam bahasa Arab adalah selalu muncul di depan rincian sebagai berikut.
Mengapakah maka tuan hamba menangis ?
Maka sabda Rasulullah (2)\ Shallallahu alayhi wa salam kepada jabrail alayhis salam : “Hai\ Jabrail alayhis salam adapun yang akan hamba tangiskan \ ini bukan karena hamba takut akan adzab Allah dan \ bukan karena hamba kasih akan bercerai dengan Abu bakar, \ dan Umar, dan Usman, dan Ali. Dan bukan karena \ Aisyah, dan chatijah, dan Abul Qasim, dan Umi Salamah, \ dan bukan karena kasih akan Hasan dan Husain memiliki dia. \ Dan ada pun yang hamba pulang ke rahmatullah Taala jikalau \ tiada ia membawa iman itulah yang hamba tangiskan \ ini.
Retorika bahasa Arab, menurut Kaplan (1984:53) termasuk dalam pola Semitis. Di samping bahasa Arab pola ini meliputi tradisi Yahudi berikut dengan sub-subbudayanya. Menurutnya pola Semitis menekankan pengembangan suatu gagasan melalui paralelisme, yaitu pembuatan suatu pernyataan dan kemudian diulangi dengan variasi yang menambah atau mencerminkan, atau menyangkal arti aslinya.
“Sebermula segala perkataan kitab ini, yang mahamulya adanya itu, daripada kitab yang mahamulya dan maha besar itu segala kitab itu, masyhurlah dalam segala negeri dan katakan perkataan segala kitab ini segala orang yang berilmu, dan sesuatu daripada segala kitab ini yang mengarangkan dia seorang pendita yang mahamulya, dan mahabesar adanya, yang pada segala negeri masyhurlah namanya, dan pada zaman itu tiadalah samanya. Maka Bukhari, yang amat hina daripada segala kitab mereka itu yang mahamulya, menghimpunkan segala perkataan kitab ini, yang indah-indah upamanya seperti bagai bunga yang dipilih dan dikarang Bukhari yang berahi daripada kebun bunga yang diusahakan mereka itu daripada memeliharakan segala kebun, dan namanya ia sesuatu dengan sesuatu nama itu. Seperti kitab Minhajus Salathin, dan kitab Ahlaq Almuhsinin, dan kitab Sirul Masykuk, dan kitab Akhbarul Muluk, dan kitab Shifatus-salathin, dan kitab Adabul Amri adanya. Demikian lagi beberapa kitab yang bernama dan masyhurlah yang memberi khabar daripada sesuatu kitab itu, Bukhari dalam kitab ini yang namanya Tajus-salathin dan adanya mi’rajus-salathin, yang peliharakan Allah subhanahu wa taala adanya daripada tangan segala orang yang jahil, dan dimasukkan maknanya dalam telinga hati segala orang yang aqal Insya Allah Taala.”
4. Ilmu Sastra
Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar teks variabel yang dijadikan objek penelitian filologi adalah berupa teks sastra. Keadaan ini menuntut filolog untuk menguasai ilmu sastra bila ingin mengungkap makna teks yang juga dapat dilanjutkan untuk memahami kebudayaan yang tersirat dalamnya . Oleh karena itu, penguasaan ilmu sastra merupakan syarat dasar yang harus dimiliki oleh seorang filolog.
Ilmu sastra yang diperlukan oleh seorang filolog adalah tergantung dari karakteristik teks sastra dan isi yang ada di dalamnya. Teks sastra yang bergenre prosa menuntut pengetahuan tentang unsur-unsur intrinsik sastra meliputi antara lain alur, tokoh dan penokohan, latar, tema dan sebagainya. Teks sastra yang bergenre puisi menuntut pengetahuan tentang baik itu yang digunakan untuk penelitian objektif, mimetik, reseptif, maupun ekspresif. Di samping itu, pemanfaatan sosiologi sastra juga dapat membantu untuk mengungkapkan digunakan
Sesuai dengan tujuan umum filologi, yaitu memahami budaya bangsa melalui karya sastranya baik tulis maupun lisan maka ilmu sastra secara teknis diperlukan untuk mengungkap budaya melalui karya sastra tersebut. Yang dimaksud ilmu sastra ialah ilmu yang membahas permasalahan yang berkaitan dengan keberadaan teks sastra baik yang berkaitan dengan unsur yang terdapat dalam teks sastra tersebut maupun unsur-unsur yang berada di luarnya dengan tujuan untuk memahami fenomena sastra. Secara teoretis, ilmu sastra yang digunakan untuk meneliti sastra menurut Abram berobjek pada 1) teks sastra, 2) pengarang sastra, 3) , dan 4) penikmat/pembaca sastra,

5. Ilmu Pengetahuan keagamaan
6. FILSAFAT
Teks (termasuk teks sastra) baik secara langsung maupun tidak langsung memuat bermacam-macam Ilmu pengetahuan, salah satu di antaranya adalah pemikiran atau filsafat. Menurut Welek (1989:134) teks sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Oleh karena itu, untuk mengungkap pemikiran-pemikiran yang ada di dalam teks maka harus digunakan filsafat.
Kata filsafat atau falsafah dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab falsafah yang juga diambil dari bahasa Yunani philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata philia yang konsep maknanya hampir sama dengan kata "persahabatan" dalam bahasa Indonesia dan kata sophia hampir sama dengan "kebijaksanaan". Dengan demikian, secara harafiah arti philosophia adalah "pecinta kebijaksanaan" atau "pecinta ilmu".
Secara definitif, filsafat dijelaskan sebagai berikut.
1. Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala sesuatu yang ada, sebab, asal, dan hukumnya.
2. Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
3. Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi.
4. Filsafat adalah cara berfikir logis, dan mendalam hingga sampai ke dasar persoalan.
5. Berdasarkan objek pemikiran, filsafat terdiri atas beberapa cabang, yaitu metafisika (ontologi), epistemologi, logika, dan estetika. Ada juga yang membaginya menjadi filsafat manusia, alam, dan ilmu pengetahuan.
Filsafat sebagai ilmu bantu filologi digunakan untuk menggali atau memahami pemikiran-pemikiran yang terdapat dalam teks. Secara praktis, menurut Bertens ada beberapa model berfilsafat.
1. Berfilsafat dengan mengekspresikannya dalam karya sastra. Contoh : Sartre sering mengemukakan pemikiran filsafatnya dalam bentuk novel, drama, dan skenario film.
2. Berfilsafat secara praktis dikaitkan dengan masalah sosial politik.Dalam hal ini, hasil filsafat menjadi konsep negara secara ideologis.Contoh : Karl Marx mengemukakan hasil filosofinya untuk mengubah dunia. Thomas Hobes yang mengemukakan bahwa karena manusia rawan terhadap kekerasan maka diperlukan wadah yang dapat menjamin keamanan individu, yaitu negara.
3. Berfilaafat dengan menggunakan metode tertentu. Descartes menyajikan langkah metodis sebagai berikut.
a. dimulai dari meragukan segala sesuatu yang telah diterima sebagai kebenaran.
b. mengklasifikasikan dan memecahkan persoalan mulai dari yang sederhana kemudian tahap demi tahap ke persoalan yang rumit.
c. memeriksa kembali secara menyeluruh jangan sampai ada masalah yang terabaikan.
4. Berfilsafat dengan menganalisis bahasa atau logosentris. Tujuan utama filsafat dengan model ini adalah untuk memperoleh klarifikasi logis tentang suatu pemikiran.
5. Berfilsafat dengan cara menghidupkan kembali pemikiran filsafat di masa lampau dengan mengkaji teks-teks filosofis para filsuf terdahulu.
6. Berfilsafat tentang masalah etika atau sering disebut juga sebagai praksiologis.
Para ahli filsafat (failasuf) sering memunculkan berbagai istilah teknis filsafati yang mengandung makna khas, seperti : substansi, eksistensi, impresi, dan kategori dalam membahas bidang kajian filsafat. Bidang kajian yang mereka bahas pada dasarnya berupa tiga hal, yaitu metafisika, epistemologi, dan etika.
Metafisika
Metafisika berasal dari kata Yunani meta ta physika yang dapat diartikan sesuatu yang ada dibalik atau di belakang benda-benda fisik.
Metafisika adalah pembahasan masalah eksistensi (keberadaan) yang memiliki sesuatu yang kodrati dan berkarakteristik umum. Dengan demikian, seorang metafisikus cenderung mengarahkan penyelidikannya pada karakteristik eksistensi yang universal seperti kategori. Aristoteles menyebut beberapa istilah yang maknanya setara dengan metafisika, yaitu filsafat pertama (first philosophy), pengetahuan tentang sebab (knowledge of cause), studi tentang ada sebagai ada (the study of being as being), studi tentang hal-hal abadi dan yang tidak dapat digerakkan (the study of the eternal and immovable).
Beberapa peran metafisika dalam ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut.
1. Metafisika mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
2. Metafisika menuntut orsinalitas berpikir yang sangat diperlukan bagi ilmu pengetahuan.
3. Metafisika memberikan bahan pertimbangan yang matang bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama pada wilayah praanggapan-praanggapan sehingga persoalan yang diajukan memiliki landasan untuk berpijak yang kuat.
4. Metafisika membuka peluang bagi terjadinya perbedaan visi di dalam melihat realitas.
Epistemologi
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani "episteme" yang berarti "pengetahuan" dan "logos" yang berarti "teori". Dengan demikian, epistemologi secara etimologis berarti teori pengetahuan. Istilah-istilah lain yang setara dengan epistemologi adalah sebagai berikut.
1. Kriteriologi, yakni cabang filsafat yang membicarakan ukuran benar atau tidaknya pengetahuan.
2. Kritik pengetahuan, yaitu pembahasan mengenai pengetahuan secara kritis.
3. Gnosiology, yaitu perbincangan mengenai pengetahuan yang bersifat ilahiah.
4. Logika material, yaitu pembahasan logis dari segi isinya, sedangkan logika formal lebih menekankan pada segi bentuknya.
Objek material epistemologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan.
Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata Yunani axios yang berarti "nilai" atau "sesuatu yang berharga" dan logos yang berarti "akal" atau "teori". Aksiologi artinya teori nilai, penyelidikan mengenai kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai.
Problem utama aksiologi berkaitan dengan empat faktor penting sebagai berikut.
1. Kodrat nilai berupa problem mengenai apakah nilai itu berasal dari keinginan (voluntarisme : Spinoza), kesenangan (hedonisme : epicurus, Bentham, Meinong), kepentingan (perry), preferensi (Martineau), Keinginan rasio murni (Kant), pemahaman mengenai kualitas tersier (Santayana), pengalaman sinoptik kesatuan kepribadian (Personalisme : Green), berbagai pengalaman yang mendorong semangat hidup (Nietze), relasi benda-benda sebagai sarana untuk mencapai tujuan atau konsekuensi yang sungguh-sungguah dapat dijangkau (Pragmatisme : Dewey).
2. Jenis-jenis nilai menyangkut perbedaan antara kriteria nilai intrinsik sebuah fenomena.
3. Kriteria nilai artinya ukuran untuk menguji nilai yang dipengaruhi sekaliguoleh teori psikologi dan logika. Penganut hedonis menemukan bahwa ukuran nilai terletak pada sejumlah kenikmatan yang dilakukan oleh seseorang (Aristipus) atau masyarakat (Bentham).
4. Status metafisik nilai mempersoalkan tentang hubungan antara nilai terhadap fakta-fakta yang diselidiki melalui ilmu-ilmu kealaman (Koehler), kenyataan terhadap keharusan (Lotze) pengalaman manusia tantang nilai pada realitas kebebasan manusia (Hegel).

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamualaikum Pak, lama gak berjumpa dengan bapak ya di kelas. Saya mahasiswa bapak di mata kuliah Filologi kelas Gh juga Reguler karena saya kamis bertabrakan dengan kuliah menulis karya ilmiah, jd saya ikut di kelas reguler pkl 15.20, tapi kalau menulis kosong saya ikut di kelas Gh pkl 09.00_ jadi saya sering ketinggalan presensi.saya senang dengan ajaran bapak, santai tapi tetap serius. sukses selalu pak_

salam,,

Lia Ekadewi P.
06201244042

st 12 band mengatakan...

Assalamualaikum bapak Ibnu, selaku PA saya, terima kasih atas masukan, nasihat-nasihat selama saya mengambil mata kuliah tiap semesternya. Pembelajaran bapak Enak, enjoy, saya selaku mahasiswa merasakan kenyamanan. succecs buat pak Ibnu.